>

ShoutMix chat widget

Guestbook Rolling Widget

Sejarah Singkat

Sejak jatuhnya suharto, beberapa komite aksi menyadari kebutuhan sebuahorganisasi perjuangan yang bergerak secara nasional menyatukan perlawanan mahasiswa bersama rakyat secara sistematis dan terprogram. Komite-komite aksi tersebut, terdiri dari 11 buah termasuk dari Timor Leste, kemudian mendirikan Front Nasional untuk Reformasi Total (FNRT) di pertengahan Mei 1998. Namun usia Front tidaklah panjang. Dii pertengahan 1998 FNRT bubar ditengah Kelesuan dan kebimbangan gerakan, meski komite-komite yang bergabung didalamnya mencoba membentuk lagi sebuah organisasi nasional bernama Alansi Demokratik (ALDEM) pada Agustus 1998. Mereka juga telah berhasil menerbitkan sebuah majalah “ALDEM” satu kali dan menggalang sebuah aksi nasional pada tanggal 14 September 1998 dengan isu Cabut Dwi Fungsi ABRI. Namun nasibnya tak jauh berbeda dengan FNRT, tenggelam di tengah hiruk pikuk gerakan menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.Upaya berikutnya adalah pembentukan Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) pada pertengahan Februari 1999. Buntunya RMNI (Rembug Mahasiswa Nasional Indonesia) II di Surabaya dalam persoalan pengambilan momentum Pemilu Juni 1999, memaksa Fondasi untuk mengundang berbagai komite aksi untuk hadir dalam Konggres Mahasiswa di Bogor pada 9-12 Juli 1999. Dari 20 komite aksi yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, 19 diantaranya sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi nasional demi terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional. Organisasi tersebut bernama Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi disingkat LMND. Kongres I tersebut juga menyatakan bahwa Perjuangan LMND adalah bagian dari Perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka menghancurkan sistem yang anti demokrasi dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Tujuan itu juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut demokrasi kerakyatan, yang secara teori dan praktek berpihak kepada mayoritas raakyat, yaitu kaum buruh ,tani dan kaum miskin kota. Hingga sekarang pasca Kongres ke IV LMND telah berdiri di 104 kota di Indonesia.

Senin, 30 November 2009

LMND Tuntut Pencopotan Budiono dan Sri Mulyani

Jakarta (Berdikari Online) - Desakan masyarakat untuk mencopot Budiono dan Sri Mulyani terus mencuat. Meski begitu, presiden kelihatan belum punya niat baik untuk merespon balik. Padahal, hasil audit investigasi BPK sudah menemukan bukti kuat adanya keterlibatan dua kolega penting presiden SBY tersebut.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Lalu Hilman Afriandi, dalam siaran pers yang diterima Berdikari Online, Minggu (29/11).

Menurutnya, presiden SBY telah melakukan perbuatan tidak sepatutnya, sebab menutup mata, mulut, dan telinganya terhadap perkembangan situasi. Karena, lanjut Lalu Hilman, sikap politik presiden ini benar-benar mengabaikan amanat dan tuntutan rakyat.

"Kita sudah melihat segalanya, preside nhanya pasif merespon desakan rakyat. Presiden telah berbuat tidak sepatutnya," ujarnya.

Lalu Hilman menjelaskan, Budiono dan Sri Mulyani memiliki posisi yang sama dengan warga negara yang lain di hadapan hukum. Meskipun ada azas "praduga tak bersalah", namun proses hukum sudah harus dilakukan, selain menyingkirkan hal-hal yang bisa mengganggu proses hukum tersebut.

Disamping itu, lanjutnya, pejabat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah harus menguraikan kebenaran soal aliran dana bank century. PPATK harus berani dan bersikap independen, sebab ini merupakan harapan seluruh rakyat Indonesia.

Pihaknya juga menuntut konsistensi DPR untuk membongkar kasus century melalui penggunaan hak angket. "Jangan sampai, nantinya, ada duri di dalam daging. Kalau ini terjadi, rakyat akan menghukum DPR," tegasnya. (Ulf)


read more...

Minggu, 29 November 2009

Politik Pencitraan dan Korupsi

Oleh : Rudi Hartono*)

Sejak menjadi presiden, jenderal bintang empat ini memang hanya mengandalkan kemampuan personalnya dalam membangun kekuatan politiknya. Image “personalnya” sanggup menjadi magnet bagi mayoritas pemilih Indonesia dalam dua kali pemilu (2004 dan 2009), bahkan sanggup menerangi pembesaran partainya, demokrat. Kesemuanya itu dibangun melalui politik pencitraan.



Politik Pencitraan

Meski dia adalah jenderal bintang empat, tetapi dia lebih menonjolkan dirinya sebagai seorang yang berpikiran cerdas, berwawasan luas, bijaksana, dan penuh perhitungan ilmiah, sesuai dengan kapabelitasnya sebagai seorang yang bergelar doktor kehormatan (honoris causa).

Di layar kaca, setiap penampilannya selalu memukau publik, bukan hanya orang awam tapi juga kalangan menengah ke atas, melalui gerakan mimik muka yang ekspresif, gerakan tangan dalam menekankan point pembicaraan, hingga tempo dan tekanan suara yang enak didengar orang-orang timur.

Dengan begitu, dia selalu berhasil menguasai keadaan; mengontrol emosi publik dan menggunakannya untuk menyerang lawan-lawan politik yang agressif. Dalam kultur timur—tepatnya Melayu, pesona petarung seperti ini memang nyaris sempurna, ketimbang petarung yang agressif, kasar, dan “maksain”.

Melihat fenomena ini, saya selalu senang untuk membandingkannya dengan presiden yang digelari si tangan besi, Margareth Thatcher. Selain sama-sama memiliki kecenderungan model kebijakan ekonomi yang anti buruh dan kaum miskin, keduanya juga sanggup mengubah personality mereka 180 derajat.

Sebelum memasuki pertarungan pemilu presiden, khalayak dan jurnalis mengenal Thatcher sebagai sosok perempuan keras, reaksioner, dan penuh kemewahan. Dia sendiri adalah istri seorang jutawan inggris. Dialah orang yang mencabut kebiasaan susu gratis untuk anak-anak sekolah dasar.

Ditangan seorang produser TV terkenal, Gordon Reece, Thatcher mulai berubah menjadi seorang yang berbicara lembut, aksen bicaranya sangat teratur, hingga akhirnya terpilih menjadi pemimpin kharismatik partai konservatif, partai Tory. Atas nasihat Reece, dia mulai mengubah potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan sarung tangan, dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suaranya. Pemilih inggris memilih Margareth Thatcher, sang ibu rumah tangga superstar, menjadi perdana menteri pada tanggal 4 Mei 1979. Sejak itu, Reece selalu berada di belakangnya, sebagai penata “image” personalnya.

Thatcher melembagakan gaya politik baru dalam menjaga keseimbangan kekuasaannya. Pada masa awal pemerintahaannya, dia berusaha membangun dan menemukan pola komunikasi politik diluar keumumam atau kelaziman protokoler politik era rejim sebelumnya. Dia seolah-olah membawa tradisi berpolitik baru. Ketika kebijakannya diserang oposisi, dia segera mencuri start untuk menjelaskan panjang lebar di media TV dan cetak, khususnya mengenai ketidaktahuan oposisi akan ‘maksud baik” kebijakannya.

Dia sangat “licik” dalam memukul oposisi. Dengan dukungan kelas berkuasa inggris di tangannya, dia bisa mengontrol media dan menggunakannya untuk mendiskreditkan oposisi, idealisme, atau yang berbau “sosial/kerakyatan”. Gerakan buruh segera dituduh ditunggangi oleh komunisme, dan komunisme disamakan dengan ide ketinggalan jaman, kediktatoran, horror, dan berbagai ketakutan.

Dia juga tidak segan mengeritik pedas dan menjatuhkan kabinet dan bawahannya, meskipun ini sekedar sandiwara palsu untuk menarik simpati rakyat. Ia juga selalu “lihai” melimpahkan kesalahan dan kegagalan pada pejabat departemen di bawahnya, padahal dia sendiri adalah pihak yang bertanggung jawab. Ketika berdiskusi dan menarik solusi untuk mengatasi sebuah persoalan besar, dia tidak segan memanggil banyak pihak dan tim ahli di bidangnya. Namun, setelah proses diskusi, dia meluncurkan sendiri ide kelompok elit di dekatnya, sembari menyatakan bahwa itu bukan idenya.

Melihat Thatcher secara sekilas, saya langsung melihat bahwa bapak presiden kita kini sedang menjadikannya acuan, meskipun tidak langsung, atau setidaknya oleh penata gaya presiden saat ini. Memang betul, seperti dikatakan oleh Nunn, peneliti di departemen media, komunikasi, dan studi-studi budaya Middlesex University, bahwa konstruksi image di layar kaca sangat mempengaruhi fantasi-fantasi khalayak luas.

Korupsi dan Pertaruhan Image

Dalam kekisruhan politik akhir-akhir ini, terutama semenjak isu kriminalisasi menggoyang lembaga yang masih cukup kredibel, KPK, presiden SBY terlihat mau memilih berada di luar arena kekacauan tersebut. Ini jelas terlihat dan tersirat dalam pernyataannya, presiden memandang kasus KPK versus Polri (didukung kejaksaan dan Komisi III DPR) bukan dalam domain kewenangannya.

Hanya setelah publik bereaksi keras, presiden mulai memanggil sejumlah tokoh nasional dan intelektual paling berwibawa, untuk mendiskusikan metode penyelesaian masalah. Dari situ, lahirlah tim independen pencari fakta (Tim-8), sebuah jalan keluar paling aman dan tidak mengikis kredibiltas personal sang presiden.

Setelah tim-8 menjalankan pekerjannya; melakukan investigasi, menggali informasi, kajian, memanggil berbagai pihak terkait, dan akhirnya melahirkan rekomendasi, presiden malah bersikap “cuek-cuek” aja.

Hari ini (21/11/09), seperti yang dilangsir sejumlah media, presiden malah memanggil Kapolri dan kejagung untuk menanyakan pendapat dan kajian kedua institusi ini terhadap rekomendasi tim-8. Ini sangat aneh, sebab presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan malah bertindak ibarat “mediator” antara pihak-pihak bermasalah. Publik mengenal betul, bahwa Polri dan kejaksaan adalah dua pihak “tersangka” dalam kekisruhan hukum di tanah air.

Kenapa dia hanya kelihatan jadi mediator, bukankah dia presiden dan punya kewenangan berlebih. Belum lagi dia merupakan perpaduan jenderal bintang empat dan doktor, seharusnya memiliki ketegasan, ketelitian, kejelian, dan integritas untuk bertindak cepat.

Pertanyaanya; kenapa bisa begitu? Seperti juga gurunya Thatcher, presiden menghindarkan diri atau personalnya sebagai bagian atau salah satu subjek masalah. Isu kriminalisasi KPK hingga terbongkarnya rekaman percakapan memalukan Anggodo Widjoyo dan sejumlah pejabat penegak hukum adalah lumpur paling kotor dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Kalau presiden sampai ada di dalam sandiwara itu, maka politik pencitraannya akan ambruk seketika. Inilah point pertamanya.

Kedua, korupsi adalah moral paling bejat dan juga dikutuk oleh kapitalisme, terutama neoliberal. Oleh penganut neoliberal, moral paling bejat ini selalu dialamatkan untuk mendiskreditkan model-model ekonomi yang mengandalkan negara. Mereka segera menuduh rejim korup sebagai akibat pelibatan atau peran negara yang terlampau besar.

Pada kenyataannya, sejumlah rejim neoliberal diguncang korupsi sangat memalukan di mana-mana, termasuk di Indonesia. Di negeri ibu pertiwi ini, korupsi dan kejahatan ekonomi dibalutkan pada sebuah make-up penyelamatan ekonomi bernama bailout. Itulah skandal bank century, dimana pengikut paling setia dan kader terbaik neoliberal (Budiono dan Sri Mulyani) diduga tersangkut paut.

Bukankah dulu Sri Mulyani, ketika menjadi ekonom, menjadi pengeritik paling pedas terhadap pengelolaan ekonomi orde baru (kapitalisme kroni). Kini, dia sendiri berada dalam sandera kutukan itu sendiri.

Ini benar-benar pertaruhan citra. Dan pemerintahan bersih benar-benar merupakan make-up paling laris dari jualan SBY-Budiono dalam pemilu presiden lalu. Sekali pak presiden tersangkut dalam kekisruhan itu, maka bangunan politik pencitraan akan tergulung oleh tsunami ketidakpercayaan. Ibarat pemain film bertema religi; ketika kepergok melakukan perbuatan tidak senonoh (seks, judi, mabuk), maka nilai “personalnya” akan runtuh seketika.

*) Peneliti Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola jurnal Arah Kiri.


read more...

Surat tentang Go to Hell, Pak Presiden

AS Laksana - detikNews

AS Laksana
Jakarta - Pak Presiden:
Saya merasa sangat mendesak untuk menulis surat ini kepada anda. Iklan “Go to Hell Pemfitnah SBY” yang dimuat di harian Pos Kota, Sabtu, 28 November, atau sehari setelah kita merayakan hari raya Kurban, telah membuat saya takjub dan sedih sekali.

Iklan itu jelas memosisikan diri sebagai pendukung Anda. Ia memajang foto anda, menyatakan “SBY Harapan Baru”, dan menyerukan doa yang mengancam: “Semoga sumber fitnah di bumi ini go to hell, amin.”

Saya bisa menduga bahwa Anda pasti akan mengatakan tak tahu-menahu tentang iklan ini dan saya tidak ingin membuat spekulasi apa pun tentangnya. Hanya saja saya harus mengingatkan Anda bahwa iklan ini telah melibat-libatkan Anda dalam sebuah komunikasi politik yang buruk dan menyiratkan ancaman.

Saya berharap, siapa pun pemasangnya, mereka sudi mempertimbangkan risiko terburuk yang bisa berkembang dalam masyarakat kita berkat pemasangan iklan macam begituan.

Di samping itu, Pak Presiden, kepada Anda saya menyarankan agar lain kali lebih berhati-hati membuat pernyataan. Anda kepala negara yang bertanggung jawab atas keberesan pemerintahan dan keutuhan negeri ini. Iklan semacam itu berpotensi memecah belah masyarakat. Itu yang bagi saya mengerikan.

Berkenaan dengan hal ini, ada yang ingin saya tanyakan kepada Anda: Apakah iklan tersebut kira-kira merupakan respons atas pernyataan Anda beberapa waktu lalu tentang fitnah kepada Anda dan keluarga Anda?

Saya pribadi merasa bahwa pernyataan Anda tentang fitnah kepada Anda sekeluarga itu tidaklah tepat dan terasa berlebihan. Padahal masalahnya adalah rakyat ingin secepatnya melihat Anda bicara dan bersikap.

Dan sikap diam Anda, yang dianggap kelamaan, telah memunculkan berbagai dugaan di tengah ketidaksabaran masyarakat kepada Anda. Saya kira itu hal yang wajar; tidak ada fitnah di sini. Setidaknya, upaya publik untuk mencari tahu segala yang gelap di balik proses hukum yang kocar-kacir adalah hal yang terlalu jauh untuk dibilang fitnah.

Jika setiap bentuk ketidakpuasan terhadap performa pemerintah dianggap sebagai fitnah dan diserukan “go to hell” oleh pendukung Anda, saya yakin tugas Anda akan semakin berat untuk memimpin negeri ini menjadi dewasa dan lebih bisa menghargai perbedaan suara.

Pertanyaan saya selanjutnya, apakah tulisan di dinding facebook yang menyatakan bahwa Anda terlalu banyak curhat akan dimasukkan ke dalam golongan pemfitnah? Beberapa waktu lalu ada teman saya yang menuliskan hal itu di dinding facebook-nya.

Pak Presiden, anda mendapatkan mandat langsung dari rakyat untuk memimpin lagi negeri ini dalam lima tahun ke depan. Jika kepemimpinan Anda baik di mata mereka, Anda akan didukung.

Jika Anda menunjukkan performa yang mengecewakan, Anda akan dikritik, dan bukan difitnah. Jika Anda berpihak kepada orang-orang melarat, rakyat akan berdiri di belakang Anda dan melindungi pemerintahan Anda. Senormal itulah semuanya berjalan.

Tentang pendapat bahwa anda suka “curhat”, saya kira itu pendapat yang melihat Anda terlalu sensitif dan cenderung membawa setiap urusan ke wilayah personal. Saya paham bahwa masyarakat kita cenderung bersimpati pada politisi yang menyandang citra teraniaya.

Dulu Ibu Mega mendapatkan dukungan besar karena citra diri yang teraniaya semasa pemerintahan Pak Harto. Dan Anda sendiri mendapatkan keuntungan besar karena citra diri teraniaya pada masa akhir pemerintahan Ibu Mega.

Jika sekarang anda menggunakan teknik curhat untuk menarik simpati di tengah sorotan miring terhadap anda belakangan ini, itu hak Anda dan saya hanya bisa menyarankan bahwa sebaiknya itu dihentikan. Anda akan terkesan cengeng karena itu dan curhat tentang fitnah kali ini telah melahirkan luapan emosi pendukung Anda yang membikin kita miris.

Terus terang saya sedih, Pak Presiden, atas munculnya dukungan yang seperti itu kepada Anda. Karena itu lain kali Anda harus berhati-hati membuat pernyataan agar tidak memunculkan bentuk-bentuk simpati yang berpotensi memecah belah rakyat.

Atau lebih baik Anda bersungguh-sungguh saja, seperti janji Anda, untuk memberantas koruptor dan mafia hukum. Jika ada hal-hal yang membuat Anda ragu dalam mewujudkan janji ini, ada baiknya Anda ingat bahwa Jean-Jacques Rousseau, dalam bukunya Du Contract Social, menyatakan: “La loi c’est l’expression de la Volonte Generale”—bahwa hukum adalah perwujudan kehendak bersama. Jadi, tegaknya hukum adalah tegaknya kehendak bersama. Saya akhiri surat ini, Pak Presiden.

Salam hangat dari saya,
AS Laksana *) AS Laksana, penulis dan cerpenis tinggal di Jakarta (nwk/asy)


read more...

Sabtu, 28 November 2009

Aksi “Hentikan” neoliberalisme Sempat Ricuh Di Siantar

PematangSiantar (Berdikari Online) -Kericuhan sempat mewarnai aksi merespon pelantikan presiden dan wakil presiden,SBY-Budiono, di Kantor Pemkot Pematang Siantar,kemaren (20/10).

Awalnya, sebanyak 70 orangaktifis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) berusaha untuk menggelar aksinya di halaman Kantor Pemkot. Usaha mereka dihadang oleh puluhan petugas Satpol Pamong Praja, sehingga terjadi aksi dorong-dorongan antara massa aksi dengan satpol PP.

Menurut Rio Hutagalung, ketua LMND Siantar, aksi ini merupakan rangkaian aksi Aliansi Parlemen Jalanan untuk merespon pelantikan SBY-Budiono, dan usaha mengkampanyekan slogan"Hentikan".

Rio menjelaskan, proyek neoliberal sudah terbukti mengalami kegagalan, khususnya dalam mengangkat kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dengan begitu, menurut dia, tidak ada alasan untuk melanjutkan proyek neoliberal ini di Indonesia.

Selain itu, Rio menganggap pemerintahan yang baru, SBY-Budiono, tidak akan memberikan perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Pasalnya, pemerintahan ini masih berpijak pada haluan ekonomi neoliberal, dan menempatkan sejumlah arsitek neoliberal di dalam pemerintahannya.

Selain itu, massa juga mempersoalkan kasus ruislag SMAN 4 Siantar, sebab diduga banyak merugikan negara. Mereka juga menuntut transparansi terhadap rehabilitasi pasar Horas di kabupaten Siantar.


read more...

Meretas Jalan Industrialisasi Nasional (Bagian 1)


Kamis, 26 November 2009-18.44 WIB | Inspirasi

Oleh: Lukman Hakim*)

Jakarta(Berdikari Online) - Dalam lima tahun terakhir, tema industrialisasi nasional telah menjadi salah satu isu penting yang diusung gerakan lintas sektor. Pendiskusian tentang berbagai problem masyarakat pada tingkatan gerakan maupun pendapat para ahli telah membawa pada kesimpulan bahwa problem kesejahteraan rakyat Indonesia adalah akibat ketergantungan ekonomi nasional kepada modal asing (kapitalisme/imperialisme/ neoliberalisme).

Sebuah obat penawar bagi kemiskinan rakyat, ternyata malah menyebabkan efek samping berupa kemiskinan; secara makro nampak angka-angka naik, namun secara nilai riil ternyata stagnan atau bahkan turun. Obat itu bernama neoliberalisme dengan segala turunannya.

Kesimpulan itu, dalam proses selanjutnya, mengharuskan adanya pendiskusian yang dalam bagi penemuan jalan keluar yang tepat. Untuk itu, kalangan pergerakan sudah harus memasukkan tema ini dalam diskusi-diskusi reguler mereka, setara dengan pendiskusian soal strategi-taktik, program tuntutan, dan sebagainya.

Akhirnya, program industrialisasi nasional muncul sebagai salah satu antitesa terhadap kehancuran industri dalam negeri akibat neoliberalisme. Disamping itu, tema ini juga untuk menjawab tuntutan soal kesejahteraan rakyat. Lebih jauh lagi, industrialisasi nasional masuk dalam ranah perjuangan menuju sosialisme, sebuah tatanan baru yang menghendaki peningkatan taraf produksi dan tenaga-tenaga produktif. Pada tahap paling awal, ini sudah muncul dalam proposal Partai Rakyat Demokratik (PRD), kemudian dilanjutkan oleh Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas)-sebuah partai aliansi elektoral untuk merespon pemilu 2009. Dalam program Papernas, yang kemudian disebut sebagai "Tri Panji Persatuan Nasional", masalah industrialisasi nasional masuk sebagai trigger program perjuangan. Setelah itu, elemen lain seperti aliansi buruh menggugat (ABM) juga mengusung issue penguatan industri nasional. Secara umum elemen kalangan pergerakan tidak menyangkal atas kesimpulan ini.

Barangkali, sebagai bahan pengantar, perlu ada tinjauan historis soal dinamika gerakan dalam mengemban program dan tuntutan hingga sampai pada titik kesimpulan sakarang ini. Pada era orde baru, program perjuangan utama yang diemban adalah pendobrakan terhadap sistem otoriter, dengan pukulan utama pada paket 5 UU Politik dan Dwifungsi ABRI. Tujuanya adalah agar ruang demokrasi tercipta dan terbuka lebar. Maka, pada saat itu, materi bacaan diskusi dan bahan bahan lain diabdikan untuk memperkuat konsep-konsep politik/demokrasi alternatif yang menguntungkan bagi rakyat. Combat area (medan pertempuran) pada masa itu adalah perlawanan terhadap rejim otoriter yang militeristik. Pada era ini, perdebatan soal konsep-konsep ekonomi alternatif yang lebh praktis nyaris tak ada peluang karena belum ada basis materialnya.

Pada tahun 1998, badai reformasi menghempas barikade dan benteng kediktatoran. Ruang demokrasi terbuka lebar bak lantai dansa nan luas tergelar hingga pelosok negeri, rakyat menari-nari dengan satu ritme: reformasi. Konsep demokrasi multi-partai pun menemukan momentum yang tepat. Konsep-konsep yang lebih praktis mulai disusun, guna memberikan alternatif jalan keluar bagi rakyat, sekaligus bertarung dengan sisa orba dan reformis gadungan. Namun secara terperinci konsep-konsep tersebut belum menjadi isu gerakan yang luas. Selanjutnya, seiring dengan dimulainya milenium baru, penggalangan front persatuan multi-sektoral mulai digalakkan. Analisis terhadap problem-problem pokok dan mendesak rakyat mulai diintensifkan secara bersama-sama. Strategi-taktik didiskusikan bersama-sama dalam rapat-rapat aliansi dan koalisi. Kesepakatan-kesepakatan diturunkan ke dalam rangakaian tuntutan aksi-aksi bersama.

Secara objektif, era ini sungguh jauh berbeda dengan era orde baru, terutama pada tingkatan politik. Era ini adalah era politik liberal; demokrasi liberal. Situasi politik yang demikian memberi peluang bagi terciptanya combat area yang lebih luas dengan batasan ring yang samar pula. Sehingga sangat membutuhkan kejelian dan keluwesan dalam mengambil langkah taktik dan strategi serta penentuan program-programnya. Salah sedikit saja, akan terpelanting kedalam kubang pragmatisme, yang telah menelan banyak korban dari pihak gerakan. Demikianlah sekiranya dapat memberi gambaran alur hingga muncul kesimpulan diatas.

Perlu disadari pula, bahwa kebutuhan akan adanya industri nasional yang kuat juga muncul di luar gerakan, semisal pada kalangan pelaku industri kecil-menengah yang tengah berhadapan langsung dengan praktik neoliberalisme. Bahkan KADIN mengaku telah menyusun roadmap industri nasional. BAPPENAS juga memiliki konsep serupa.Terlepas bagus dan tidaknya isian dari kedua konsep tersebut, hendaknya dapat memberi dorongan yang kuat agar gerakan juga melakukan hal yang sama, agar menjadi alternatif bagi keduanya jika ternyata keduanya mengingkari hak rakyat.

Akhirnya, industrialisasi nasional tidak boleh menjadi sekedar isu picisan yang cuma keluar pada aksi-aksi massa dan di forum-forum diskusi semata. Penguatan industri nasional bukanlah jargon dan slogan semata, juga bukan pelengkap-pemanis dari program sektoral, juga bukan agar tampak tampil lebih maju. Namun ia harus muncul dalam bentuk konsep yang menyeluruh, yang dapat dinikmati dan diyakini oleh masyarakat sebagai jalan keluar yang kongkrit,logis, realistik, dan reachable. Dengan kata lain bukan hanya berupa pintu kaca nan mewah yang terkunci.

Pada kesempatan ini, pemaparan tidak akan terikat pada satu teori tertentu, tujuanya agar cakrawala lebih luas dan tidak terjebak pada dogmatisme. Sehingga dapat menjadi lanjutan yang kongkrit dari capaian-capaian yang telah ada. Tentu saja tidak untuk dikukuhkan sebagai final analysis, namun sebaliknya agar dapat memberi pancingan pendiskusian lanjutan. Harapannya, dapat terwujud konsep industrialisasi nasional yang detail, ilmiah sebagai jalan menuju bangunan industri nasional yang kokoh, mandiri dan bervisi kesejahteraan nasional.***

*) Penulis adalah ketua I Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD), sekaligus pengurus pusat Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia(FNPBI)


read more...

Jumat, 20 November 2009

Mogok Makan

Indonesian Students on Hunger Strike Against Fuel Price Rise - solidarity needed!

Papernas
Popular resistance to petrol price rises has been continuously sparking protests around Indonesia. Since the Indonesian government officially announced a fuel price rise on May 23, 2008, resistance has spread across the country.
On May 26, the National Students' League for Democracy (LMND), an affiliate of the National Liberation Party of Unity (PAPERNAS), together with various student organizations started hunger strikes in 14 provinces to refuse fuel price rise as well as to demand the nationalisation of oil and mining industries.
The hunger strike is taking place in campuses in Jakarta, Bandung (West Java province), Salatiga, Purwokerto and Semarang (Central Java province) Surabaya (East Java), Lampung province , Palembang (South Sumatra province), Makassar and Tana Toraja (South Sulawesi), Manado (North Sulawesi), Palu (Central Sulawesi provinces), Kendari (South-east Sulawesi Provinces), Mataram (West Nusatenggara), Labuhan Batu (North Sumatera Provinces), Pekan Baru, Riau Province, Gorontalo (Gorontalo Provinces).
The student actions have gained broad sympathy from students and people living near the hunger strike posts. Students at these posts put up banners proclaiming “Nationalise Mining Industries, Repudiate Foreign Debt and Reject any Government that is Pro-foreign Interest (Golkar and Demokrat party)” received good responses.

In Surabaya at Airlangga University, the hunger strike was opened by riding bicycles around the city. To accompany the hunger strike, some students in the Diponegoro University, Semarang, spread a plain white banner on which people can write their support.
Meanwhile in front of the campus of Social and Political Science Institute (IISIP) in Jakarta, white banner put up at the hunger strike post was quickly filled with writings of support from not only students but also locals who express their grievances of today’s economic situation. Some have even donated some money to support the hunger strike.
A significant number of hunger strikers have had to be taken to the hospital.
May 28: All hunger strikers in Jakarta were ordered to stop their strike after having been diagnosed with digestion problems. “Moreover these strikers were activists that used to actively take to the streets to protest oil price rise, consequently their physiques were weak since the beginning,” said Nugo, Jakarta hunger strike post coordinator.
May 30: In Palembang, 3 out of 6 hunger strikers remain on strike, meanwhile 3 strikers - Reinhard (LMND), Fransiskus (STN), and Tison (SRMI) - in Siantar and one in Semarang had to be taken to hospital. A striker from Lampung, Doni (SRMI), was hospitalised after suddenly fell unconscious.
In Palu, Central Sulawesi, the hunger strike post located at the Provincial House of Representatives building was destroyed during a clash between students and police, when the LMND regional chairperson was beaten and arrested. At the time of writing (May 31), hunger strikes continue in Siantar Riau, Semarang, Salatiga, Kudus, and Semarang.

Please send your solidarity messages to the Indonesian students on hunger strike to: Rudy Hartono arahkiri2009@yahoo.com


read more...

Indonesia: Students launch nationalisation campaign

By Katarina Pujiastuti

March 1, 2008 -- Beginning last Monday, the National Student League for Democracy (LMND) held two-day demonstrations in Jakarta to campaign for the nationalisation of oil, gas and mining industries. On the first day, about 150 students representing several campuses in Java and Sumatra protested against ExxonMobil in front of the commercial building that houses its headquarters.

The richest energy company was targeted because it recently attacked Chavez's anti-imperialist government by taking legal action to freeze the assets of the Venezuelan state's oil company, PDVSA. ``Therefore, LMND made a good decision in protesting in front of Exxon's headquarters, as the company rightly symbolises foreign corporation in the extractive sector'', said Rudi Hartono, an LMND leader.

ExxonMobil is just one of the dozens of foreign companies that exploit 92% of Indonesia's hydrocarbon and mineral wealth. Central Java LMND's chairperson, Maman, said that "It is so unjust that ExxonMobil gained US$40.6 billion yearly profit while almost 3 billion people in the world live in poverty and at least 25,600
children die each day from malnutrition.''

Some protesters carried placards with pictures of [Cuba's Fidel, Venezuela's President Chavez and Bolivia's President Evo Morales, along with Indonesia's former left nationalist President, Sukarno, with the slogan ``Nationalise oil, gas, and mining industries for free and quality education!''

LMND's General Chairperson Lalu Hilman Afriandi mentioned in his speech that ``millions of Indonesian school-age children have dropped out due to lack of funds; the Indonesian poor are more and more denied
access to affordable education.''

The protest was ended by reading the ``proclamation of national liberation'', an assertion to multinationals to respect and acknowledge national sovereignty as well as a declaration of genuine political-economic independence modeled on the country's anti-colonial ``proclamation of independence'' of 1945.

The next day, 130 LMND activists marched to the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) to protest the government's continuing submission to the interests of multinationals

Furthermore, a range of legislation has opened the door for more plundering of the country's wealth by foreign interests.The Hydrocarbon Law (2001), for instance, stripped bare the state's sovereignty on the management of hydrocarbon compared to the earlier legislation of the 1960s, therefore contradicting Article 33 of the constitution that states that natural resources ``shall be controlled by the state and shall be used for the greatest welfare of the people''.

Some representatives of LMND's national executive entered the ministry's office to deliver an open letter demanding the revocation of such legislation; and the restructuring of all oil, gas, and mining deals
with foreign companies on the basis of:

1. The fulfillment of domestic energy needs

2. Increase of state ownership (divest shares belonging to foreign companies)

3. Increase of state revenue by raising the state's royalties and cutting cost recovery value.

The purpose of these demands is to educate that Indonesia must immediately ``change its course'' to reject neocolonialism and imperialism.

``This is just a prelude of the people's movement to nationalise the extractive industries", said the the action coordinator. ``LMND will continue to protest foreign companies' offices in every region.''

Nationalisation is one of the three main programs of the National Liberation Party of Unity (Papernas), the political party that LMND built with other organisations to contest in the 2009 election; cancellation of foreign debt and national industrialisation constitute the second and third programs.

According to Papernas' monthly publication, Berdikari (http://papernas.org/berdikari) -- a popular acronym meaning self-sufficiency, coined by Sukarno -- the campaign for the three main programs (nicknamed the Three Banners (Tripanji) is politically aimed at polarising the political currents leading to the election -- showing them to be pro or anti foreign oppression.

``The Parliament has just introduced one of the toughest electoral verification systems in the world to strengthen the position of the big ruling parties and to establish two-party democracy by excluding the
left'', explained Katarina Pujiastuti, Papernas' International Officer.

``Despite these immense obstacles and several attacks from militarily organised 'anti-communist' right-wing groups and thugs'', she continued. ``Papernas is committed to intervening in the election to offer
alternatives to the people and to rally against the neo-colonialism and imperialism that have caused profound crises in people's livelihood.''
***


Also on February 25 about 100 students from LMND North Moluccas, together with several other organisations (GAMHAS Ternate, LISMI Ternate, and SLAVERY University Hairun), carried out a street demonstration in the heart of the Ternate City. The action lasted four hours and its route went pass the offices of the Governor of the North Moluccas, Gedung DPRD North Moluccas, and the offices Radio Republic of Indonesia.

Apart from demanding the nationalisation of foreign mining (such as P.T. Nusa Halmahera Minerals) to pay for free education, the students demanded the rejection of the BHP Bill, now before parliament; the revision of Sisdiknas UU 2003; higher prices for local products such as cloves, nutmeg, chocolate and copra; higher workers' pay; lower fuel and oil prices; along with subsidies for poor fisherfolk.

LMND also organised a protest of 300 students and poor farmers around the ``Nationalise the foreign mining companies'' in Maubere, Flores, on February 25.

On February 29, Papernas Sulteng carried out an action around the demand of the ``Nationalisation of foreign mining is a road out of the energy crisis and the domestic industry''. The action that was held in the centre of the Palu City (the Hasanuddin Roundabout) with drew about 40 people and also focussed on the
phenomenon of blackouts and the scarcity of fuel oil in the Palu City. DPD-Papernas Sulteng considered that the two crises were a result of the government's lack of seriousness in constructing the national industry.

Apart from being filled up by political speeches from various supporting mass organisations of Papernas, the action was livened up by the appearance happening art from students from the Palu City LMND. Around
25 students from the LMND Labuhan Batu, again took to the streets on March 3 and marched to the
offices of the DPRD Ii Labuhan Batu.

They took to the streets to express the demand for the nationalisation of the foreign mining industry to pay for free education and the resolution of problems of the campus in Labuhan Batu.

Papernas and its affiliates will be mobilising around this demand right through March 2008.

(Source: http://papernas.org/berdikari)

PAPERNAS THE NATIONAL LIBERATION PARTY OF UNITY Jln. Tebet Dalam IIG
No. 1, Jakarta Selatan, 12820. Telp/Fax: 021-8354513. Email:
papernas@yahoo.com


read more...

Aksi “Hentikan” neoliberalisme Sempat Ricuh Di Siantar

Rabu, 21 Oktober 2009 - 13.26 WIB | Bravo

PematangSiantar (Berdikari Online) -Kericuhan sempat mewarnai aksi merespon pelantikan presiden dan wakil presiden,SBY-Budiono, di Kantor Pemkot Pematang Siantar,kemaren (20/10).

Awalnya, sebanyak 70 orangaktifis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) berusaha untuk menggelar aksinya di halaman Kantor Pemkot. Usaha mereka dihadang oleh puluhan petugas Satpol Pamong Praja, sehingga terjadi aksi dorong-dorongan antara massa aksi dengan satpol PP.

Menurut Rio Hutagalung, ketua LMND Siantar, aksi ini merupakan rangkaian aksi Aliansi Parlemen Jalanan untuk merespon pelantikan SBY-Budiono, dan usaha mengkampanyekan slogan"Hentikan".

Rio menjelaskan, proyek neoliberal sudah terbukti mengalami kegagalan, khususnya dalam mengangkat kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dengan begitu, menurut dia, tidak ada alasan untuk melanjutkan proyek neoliberal ini di Indonesia.

Selain itu, Rio menganggap pemerintahan yang baru, SBY-Budiono, tidak akan memberikan perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Pasalnya, pemerintahan ini masih berpijak pada haluan ekonomi neoliberal, dan menempatkan sejumlah arsitek neoliberal di dalam pemerintahannya.

Selain itu, massa juga mempersoalkan kasus ruislag SMAN 4 Siantar, sebab diduga banyak merugikan negara. Mereka juga menuntut transparansi terhadap rehabilitasi pasar Horas di kabupaten Siantar.

ULFAILYAS


read more...

Laporan Aksi Nasional LMND

Laporan dari Ulfa Ilyas, Jakarta - Kamis, 30 Mei 2008


Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menggelar aksi mogok makan serentak di berbagai kampus di Indonesia dengan menggunakan alat LMND, Front, atau kampus-kampus untuk menuntut pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM. Tuntutan utama aksi mogok makan adalah; Batalkan kenaikan harga BBM; Nasionalisasi Industri pertambangan asing dan penghapusan Utang Luar Negeri; tinggalkan elit politik pro-asing (imperialisme); Pemerintahan SBY-JK( Golkar dan Demokrat). Berikut liputan daerah untuk sementara;



Jakarta (26/05/08) : di Jakarta, aksi mogok makan yang di beri nama Persatuan Mahasiswa Jakarta (PMJ) dilakukan di tiga kampus, yaitu kampus ISIIP, universitas Mercu Buana, dan UPI YAI Salemba. aksi mogok makan ini di lakukan sebagai protes mereka terhadap pemerintahan SBY-JK karena telah menaikkan kebutuhan Harga bahan bakar Minyak, dimana kenaikan harga bahan bakar minyak akan berdampak luas pada seluruh aktifitas perekonomian rakyat (kecil, menengah dan besar) dan dirasakan oleh lapisan masyarakat yang berada di posisi menengah-kebawah. Dengan kenaikan harga BBM maka akan memicu kenaikan harga-harga bahan pokok, dimana sebelumnya bahan-bahan pokok telah melonjak harganya karena krisis pangan dunia. Mereka juga mengatakan, bahwa situasi industri nasional sangat tergantung pada pasokan bahan bakar minyak, akibatnya industri nasional kita akan sangat terpukul dan akan tergilas badai krisis akibat kenaikan harga bahan bakar minyak tersebut.

Aksi mogok makan tersebut dilakukan oleh 6 orang peserta selama tiga hari berturut-turut. Rencananya, jika pemerintah tidak juga mendengarkan aspirasi mereka, maka aksi mogok makan tersebut akan bertambah lagi waktunya selama enam hari. Mereka meminta pemerintahan SBY-JK untuk membatalkan kenaikan harga BBM; Turunkan harga-harga sembako, Bebaskan Aktifis mahasiswa dan rakyat yang tertangkap saat aksi menentang kenaikan BBM di seluruh Indonesia, Nasionalisasi Industri pertambangan Asing; Penghapusan Hutang Luar negeri, dan seruan untuk meninggalkan elit politik pro-asing yaitu pemerintahan SBY-JK (Golkar dan Demokrat). Nugroho, Koordinator umum Posko Mogok Makan mengatakan bahwa aksi-aksi serupa akan dilakukan terus-menerus dibeberapa kampus yang sudah diputuskan oleh teman-teman dari PMJ.



Bandar Lampung (26/05/2008) : Kebijakan pemerintah dalam menaikkan Bahan bakar minyak mendapat penolakan hampir di seluruh masyarakat dan mahasiswa diberbagai daerah. Di lampung, sekitar 10-an orang peserta aksi mogok makan yang tergabung dalam Front Rakyat Menggugat (FRM) melakukan aksi Mogok makan di kampus UNILA (Universitas Bandar Lampung). Front Rakyat Menggugat ini terdiri dari LMND, SRMI, SEMA-LAMBAR, STN, UKMBS-UBL, FORDIMA-UBL.

Aksi mogok makan tersebut rencananya dilakukan selama seminggu. Mereka mengatakan bahwa mereka akan tetap melakukan aksi mogok makan sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kenaikan harga minyak. Memasuki hari ketiga aksi mogok makan, salah satu peserta yang bernama Dony dari Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) terpaksa dilarikan kerumah sakit, karena kondisinya semakin lemah dan terjatuh, selain itu juga donny menderita dehidrasi akibat mogok makan yang dilakukan tersebut.

Menurut Dona Sorentimosa, Aksi mogok makan akan digelar selama seminggu dan jika belum ada respon dari pemerintahan SBY-JK akan ditambah dan kemungkinan akan dibuka posko serupa di kampus UBL Bandar Lampung.



Makassar (26/05/08): Sekitar 100-an massa yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional Untuk demokrasi Melakukan Aksi di depan kampus Unhas. Aksi ini merupakan prakondisi sebelum mereka akan melakukan aksi mogok makan selama seminggu. Aksi mogok makan digelar tepat di Pintu I Kampus Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Aksi mogok makan ini di ikuti oleh 20 orang dengan memasang plester hitam di mulutnya. Menurut koordinator lapangan, Babra kamal, mereka akan tetap bertahan selama seminggu sampai pemerintah tergugah dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat. Dalam aksi tersebut, mereka menuntut kepada pemerintah SBY-JK untuk membatalkan kenaikan harga BBM, nasionalisasi Industri Pertambangan Asing, Hapuskan Hutang Luar Negri dan Industrialisasi Nasional.

Memasuki hari kedua dalam aksi mogok makan tersebut terpaksa dibubarkan, karena di tempat yang sama telah terjadi aksi bentrok antara aparat kepolisian dengan Aliansi Mahasiswa Universitas Hasanuddin menolak Kenaikan Bahan Bakar Minyak (AMUK).



Labuhan Batu (26/05/08) : Aksi-aksi penolakan terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak di daerah-daerah semakin meluas. Di Labuhan batu, sekitar 10-an mahasiswa yang mengatas namakan Liga mahasiswa Nasional untuk Demokrasi melakukan aksi Mogok makan. disamping itu, beberapa orang dari mahasiswa Universitas Labuhan Batu (ULB) dan UNISLA juga ikut serta dalam aksi mogok makan tersebut. Rencananya, aksi mogok makan tersebut akan berlangsung hingga 1 juni 2008 mendatang.



Siantar (28/05/08): Sebagai rangkaian aksi menentang kenaikan harga BBM di berbagai daerah, di Siantar, beberapa aktifis LMND dan STN menggelar aksi mogok makan menuntut pemerintah segera membatalkan kenaikan harga BBM. Aksi mogok digelar sejak Rabu (28/05/08) di ikuti oleh Reinhard Sinaga (LMND, Adven Nainggolan (LMND), Fransiskus Silalahi (STN),dan Tyson (LMND). Mereka membangun tenda dan posko di depan kampus Universitas Siantar(USI). Menjelang hari ketiga, ketiga peserta mogok makan mulai tumbang dan dilarikan ke rumah sakit. Menurut Reinhard, aktifis LMND menyatakan bahwa aksi mereka akan terus dilanjutkan hingga pemerintah memberikan respon dan membatalkan kenaikan harga BBM. Hingga berita ini diturunkan, ketiga aktifis yang melakukan aksi mogok makan sedang dirawat di rumah sakit akibat kekurangan cairan tubuh dan kondisi fisik yang sudah sangat lemah.



Semarang (27/05/08) : Puluhan mahasiswa, buruh dan kaum miskin kota yang tergabung dalam Front Rakyat Menggugat (FRM) menggelar aksi mogok makan didepan kampus Undip, Semarang. Aksi ini merupakan bentuk protes atas keputusan pemerintah tetap bersikukuh menaikkan harga BBM.

Mereka yang mogok makan terdiri atas empat orang dari Liga Mahasiswa Nasional Demokratik (LMND) dan tiga orang dari Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Mereka adalah Rahmat Sutopo (LMND), Lukman Hakim (LMND), Hengki. F. Matan (LMND), Rony Nakiaya, Wahyu Sukmahadi, Ari Setiawan, Edi Sutikno. Masing-masing menutup mulutnya dengan lakban hitam. Hari kedua, Rahmat Sutopo dilarikan ke rumah sakit karena fisiknya yang drop. Ketika ada peserta yang jatuh, bukannya menurunkan semangat malah menambah semangat yang lain. Hal ini di buktikan dengan bergabungnya tiga orang, yaitu : Adityo Kurniawan, Triya Siswandi dan Frans Mohede.

Menurut Maman Darmawan, kemungkinan hari minggu besok (1/06/08) ada tambahan dua orang peserta mogok makan lagi. Menurutnya, aksi ini akan terus berlangsung hingga bulan Juni mendatang.



Salatiga (29/05/08) : 8 mahasiswa yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk demokrasi (LMND) dan Komunitas Anak Jalanan Salatiga (GERAM) melakukan aksi mogok makan di depan kampus Universitas Kristen Satya Wacana, jl. Diponegoro.

Kedelapan mahasiswa yang melakukan mogok makan yakni Reyza Budi Krisna Wardana (20) dari Fakultas Teknologi Informatika sekaligus koordinator aksi, Wawan (20) dari Fakultas Pendidikan, Asnafri (20) dari Fakultas Theologi, Joko (26) dan Santo (20) dari komunitas anak jalanan ‘Geram’, Thomas (20) dari Fakultas Pendidikan dan Martin (20) dari Fakultas Ekonomi.

Menurut Reyza Budi Krisna Wardana, Koordinator Aksi Mogok Makan, aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes mereka terhadap pemerintah karena telah menaikkan harga BBM, padahal masih begitu banyak solusi lain yang bisa di lakukan oleh pemerintah selain menaikkan harga BBM, yaitu : Nasionalisasi Industri Pertambangan Asing dan Hapuskan Hutang Luar Negri.



Palembang (26/05/08) : Perlawanan mahasiswa di kota Palembang terhadap kenaikan harga BBM berlangsung di kampus IAIN Raden Fatah, jalan jenderal Sudirman. 20-an orang mahasiswa menggelar aksi mogok makan tepat di pinggir lapangan Sepakbola kampus IAIN tersebut. Aksi ini diikuti oleh Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) dan Front Mahasiswa Menggugat (Frabam). Sebelum memulai aksinya, mereka telah menyebarkan undangan ke kampus-kampus seperti UNSRI, PGRI, UMP dan Bina Darma untuk bersama-sama terlibat dalam aksi mogok makan. Hingga hari ketiga ini, sudah ada tiga peserta aksi mogok makan yang mengalami sakit. salah satunya, hari ini peserta yang bernama Venus Jupiter menderita kekurangan cairan dan konsumsi makanan, akhirnya jatuh pingsan dan segera di larikan ke rumah sakit.

Dalam aksi ini mereka menuntut kepada pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak, karena sangat menyengsarakan rakyat, mereka juga menuntut kepada pemerintah untuk menurunkan harga sembako. Selain itu, mereka menilai pemerintah gagal dalam mewujudkan ketahanan energi. Penyebabnya, tidak adanya kemandirian ekonomi dan politik dari pemerintahan SBY-JK dalam pengelolaan migas di Indonesia.



Surabaya (26/05/08) : Aksi penentangan kenaikan harga BBM di kota Surabaya cukup menarik. Sekitar 50-an anggota LMND dan Sekumpulan mahasiswa 2007 (Semuut) yang tergabung dalam “Rakyat Menggugat” melakukan aksi keliling kota menggunakan sepeda pancal untuk mensosialisasikan penentangan kenaikan harga BBM kepada rakyat miskin. Setelah selesai aksi keliling kota, mereka menggelar aksi mogok makan di depan Pintu kampus UNAIR. Tema Aksi tersebut adalah “TINGGALKAN PEMERINTAHAN PRO-ASING”.

Aksi mogok makan ini diikuti oleh Agustinus (pengamen), Aditya Prasetya (pelajar), Ganang Aditya (Semuut), Firman Dwi K (Semuut), Asadur rohman (Semuut), ernest Fajar (Semuut), Alan Darmawan (Semuut), veri gustomi (LMND), Enjang Satrio (LMND), Gayuh Dwi N (LMND). Rencananya aksi mogok makan tersebut akan berlangsung sampai hari sabtu, 31 mei 2008 mendatang.



Palu - Sulawesi tengah (26/05/08) : Aksi mogok makan yang dilakukan oleh Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) di depan kantor Gubernur dan DPRD Sulawesi Tengah, di ikuti oleh 8 mahasiswa yaitu Purwadi, Asman, Ton, Sherina, Enal, Sahlan, Jhein dan Faisal. Aksi tersebut dilakukan sebagai protes mereka terhadap pemerintah yang telah menaikkan harga BBM tanpa memperhatikan kondisi rakyat Indonesia yang semakin miskin dan sengsara. Rencananya, aksi mogok makan tersebut akan terus berlangsung sampai tanggal 1 juni mendatang.

Dalam aksi tersebut, mereka menuntut kepada pemerintah untuk segera menurunkan harga bahan bakar minyak, turunkan harga sembako, nasionaliasi industri pertambangan asing yang ada di indonesia, hapuskan hutang luar negri, serta membuka industri nasional yang bisa memberikan peluang kerja bagi rakyat.

Kendati hanya melakukan aksi mogok makan, aksi mahasiswa ini mendapat pengawalan ketat dari kepolisian karena semakin banyak mahasiswa yang datang bersolidaritas. Hari kedua, dua orang peserta mogok makan yang fisiknya melemah dilarikan ke Rumah Sakit yakni Purwadi dan Syahlan dilarikan kerumah sakit Undata, Palu. Albar, Koordinator Mogok Makan menyatakan, aksi mereka akan bertambah besar dengan adanya peserta lain untuk mogok makan, jika pemerintah tidak memperhatikan tuntutan mahasiswa untuk membatalkan kenaikan harga BBM.

Memasuki hari ketiga (29/05/08), aksi mogok makan diramaikan dengan kedatangan mahasiswa dari Aliansi BEM se kota Palu yang mendatangi DPRD untuk menuntut pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM. Aksi yang berjalan damai, tiba-tiba diserang oleh aparat kepolisian yang memukuli dan menangkapi beberapa orang mahasiswa. Aksi saling kejar-kejaran terjadi dan beberapa polisi memukuli wartawan yang mencoba mengambil gambar kejadian tersebut. Albar, Koordinator mogok makan yang juga memimpin aksi itu ditangkap oleh polisi.



Kudus (30/05/08) : Aksi penolakan terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak terus berlangsung di berbagai daerah-daerah. Di kudus, aksi penolakan yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Rakyat Menggugat (AMAR) melakukan aksi Mogok makan di lapangan Alun-alun Simpangtujuh, aksi tersebut diikuti oleh tiga orang peserta. Rencananya aksi tersebut akan dilakukan selama empat hari dan akan dirangkaikan dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang lain, diantaranya Sholat Mayat yang akan dilakukan di alun-alun Kudus, mimbar bebas, diskusi umum dan sampai membagi-bagikan nasi bungkus kepada sebagian para sopir angkot dan tukang becak.

Dari informasi yang kami dapatkan, Mustafid, koordinator aksi mogok makan,”bahwa aksi mogok makan merupakan bentuk penolakan mereka terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak yang sangat menyengsarakan rakyat”. Selain itu mereka juga menuntut kepada pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan bukan BLT (Bantuan Langsung Tunai), menurunkan harga kebutuhan pokok, menuntaskan dan memenuhi tuntutan reformasi, menyita aset koruptor, dan nasionalisasi aset asing dan pertambangan untuk kesejahteraan rakyat.



Pekanbaru (30/05/08) : bentuk penolakan kenaikan harga BBM dengan cara mogok makan juga terjadi di Pekanbaru. Aksi digelar di Bina Widya, UNRI di Panam, Pekanbaru, jum,at (30/05). Mereka yang mogok makan adalah Harlen Gersang, Mukhrianur (Mahasiswa Sekolah Tinggi Informasi), Vina (Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim), dan Nana (Mahasiswa Stephen Komputer). Mahasiswa menggelar posko dan beberapa spanduk bertuliskan “Batalkan kenaikan BBM; Nasionalisasi industri pertambangan dan penghapusan utang luar negeri”, dan “Tinggalkan elit politik pro -asing (imperialisme); pemerintahan SBY-JK (Golkar dan Demokrat)”.

Menurut Billy Saputra, Koordinator aksi mogok makan yang juga merupakan ketua Serikat Mahasiswa Riau (SEMAR) menyatakan aksi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintahan SBY-JK yang tetap menaikkan harga BBM. Kebijakan itu akan memberikan multifier effect atas beban penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat selain kenaikan harga sembako dan jatuhnya daya beli. Billy menyerukan kepada seluruh gerakan mahasiswa se Riau dan seluruh Indonesia untuk membangun persatuan menghadapi elit politik pro asing yang menjadi kaki tangan imperialisme di Indonesia.

Aksi mogok makan ini mendapat solidaritas dan dukungan dari sesama mahasiswa, masyarakat dan anggota DPRD. Seorang anggota DPRD dari partai PDK mengunjungi posko dan berdiskusi dengan mahasiswa tentang kenaikan BBM.

Menjelang dini hari (31/05), pukul 01.30 WIB, peserta mogok makan mulai bertumbangan akibat kondisi tubuh yang semakin ngedrop. Nana, mahasiswi yang ikut mogok makan dilarikan ke RS. Beberapa menit kemudian, 3 peserta mogok makan lainnya juga dilarikan kerumah sakit karena kondisi fisik yang sudah sangat lemah. Menurut Billy, cepatnya peserta mogok makan tumbang karena sejak awal mereka tidak mengkonsumsi apapun kecuali minum air.


read more...

Siaran Pers Bersama

No : 061/IX/PP-STN/04

Dukungan untuk PALITO MALAM SIHAPORAS



Penangkapan Petani Sihaporas Kab. Simalungun Sumatera Utara

Lancarkan Gerakan Reforma Agraria

untuk Mengembalikan Tanah Rakyat


Sengketa agraria antara masyarakat Sihaporas yang tergabung dalam Organisasi
rakyat Panitia Pengembalian Tanah Adat Oppung Mamottang Laut Ambarita –
disingkat PALITO MALAM SIHAPORAS – dengan PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) yang
sebelumnya bernama PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU) telah berlangsung selama 6
tahun sejak tahun 1998. Luas lahan sengketa yang dirampas PT IIU sebesar 1500
Ha.

Dalam gerakan reklaiming yang dilakukan oleh PALITO MALAM SIHAPORAS di tahun
2002 yang lalu, Arisman Ambarita – seorang masyarakat Sihaporas – ditahan oleh
Kepolisian Resort Simalungun. Arisma dituduh merambah hutan milik PT. IIU dengan
barang bukti 1 (satu) karung cabe pada saat sedang istirahat siang di ladangnya.
Akibatnya, Arisma ditahan selama 3 bulan di LP Simalungun sampai adanya upaya
penangguhan penahanan oleh pihak keluarganya. Hingga kini, proses peradilannya
menunggu putusan kasasivdari Mahkamah Agung.

Pada hari Senin, 6 September 2004 pukul 16.00, kembali 2 (dua) orang petani
Sihaporas ditangkap pihak kepolisian berdasarkan pengaduan Dinas Kehutanan Kab.
Simalungun dan PT. TPL. Manguita Ambarita dan Parulian Ambarita ditangkap dengan
tuduhan merambah hutan dan menggarap lahan tanpa izin dari PT. TPL.

Serikat Tani Nasional mendukung tuntutan PALITO MALAM Sihaporas untuk
menyelesaikan sengketa agraria dengan :
* Mengembalikan Tanah kepada Rakyat Sihaporas sebagai satu-satunya jalan
keluar penyelesaian sengketa agraria yang terjadi.
* Membebaskan seluruh Petani yang ditangkap dengan tuduhan melakukan tindak
kriminal dalam sengketa agraria tersebut.
* Menghentikan pedekatan militeristik terhadap petani dalam menyelesaikan
konflik agraria. yang dilakukan aparatus negara baik birokrasi sipil, polisi,
maupun militer.
Demi mencapai kedaulatan dan kemerdekaan bagi rakyat tani, Serikat Tani
Nasional menyerukan :
* TIDAK CUKUP dengan DIALOG untuk penyelesaian sengketa Agraria. Tapi,
Lancarkan Gerakan Reforma Agraria [Tanah, Modal dan Teknologi
Modern-Murah-Massal untuk Pertanian Kolektif di bawah Dewan Rakyat/Tani] dan
Gerakan Tani anti-Militerisme dengan kekuatan persatuan gerakan rakyat.
* Dan Bangun persatuan rakyat antara petani, buruh, mahasiswa, rakyat miskin
perkotaan, intelektual, agamawan dan siapa saja yang bersepakat terhadap
perubahan adalah modal utama mewujudkan pemerintahan rakyat yang sejati :
Pemerintahan Persatuan Rakyat/Pemerintahan Rakyat Miskin.
Update Berita 9 September 2004.

Hari Rabu, 8 September 2004 pukul 09.00, ratusan petani PALITO MALAM Sihaporas
bersama dengan STN Simalungun dan gerakan rakyat lainnya seperti Jagad Tanah
Rakyat, KPK PRD Siantar, LMND Siantar, Petir, Jamur Demo dan GPSID menuntut
DPRD Kab. Simalungun untuk berpihal kepada masyarakat Sihaporas atas sengketa
ini. Hasilnya, DPRD akan memanggil Dinas Kehutanan, PT. TPL dan akan meminta
pada Lapolres Simalungun untuk melakukan penangguhan penahan terhadap Mangitua
Ambarita dan Parulian Ambarita.

Untuk informasi : Veri Simarmata - STN Siantar/Simalungun di 081361486755

Jakarta, 9 September 2004


-----

Tanah, Modal, Teknologi yang Modern-Murah-Massal

untuk Pertanian Kolektif di Bawah Dewan Tani/Rakyat


read more...

KAMPUS DALAM SEMANGAT SEMU


*EDI SUSILO



Pendidikan adalah hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah bukan kewajiban rakyat untuk membiayai dan bukan hak pemerintah untuk mengambil keuntungan dari pendidikan itu.



Hidup segan mati tak mau begitulah nasib 60% perguruan tinggi di negeri ini, persaingan untuk merebutkan mahasiswa merupkan salah satu dari dari sekian factor pokok yang paling kenntara, perasaan was-was dan cemas selalu menghantui para pengelola pendidikan di Negari ini, apa yang menjadi pokok keresahan ini, UU BHP, undang-undang hasil ratifikasi dari perjanjian GATS (General Agreement On trade Service). Inilah penyebab utamanya. Pelaksanaan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan selambat-lambatnya dalam enam tahun mendatang akan mendorong perguruan-perguruan tinggi swasta aktif melakukan merger satu sama lain. Tujuannya, untuk memperkuat modal dan sumber daya guna bertahan dalam persaingan. Persaingan antarperguruan tinggi pasca implementasi UU BHP bakal lebih ketat. Ini disebabkan diperbolehkannya modal asing untuk masuk, meskipun harus lewat dasar kerjasama dengan perguruan tinggi lokal. Ancaman pailit atau penutupan badan hukum pendidikan senantiasa membayang-bayangi perguruan tinggi yang tidak dapat bertahan. Apalagi, di PTS, soal dukungan pembiayaan dari pemerintah masih belum ditegaskan. Kasus Universitas Wyana Mukti adalah contoh aktualnya. Dan dari sekitar 478 PTS yang ada di Jabar-Banten, 40 persen di antaranya dalam kondisi kurang sehat. Begitu juga kasus beberapa perguruan tinggi di kota yogyakarta sebagai kota pendidikan. Ketentuan soal merger ataupun alih kelola ini selanjutnya akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah.

Lalu pertanyaannya kenapa saat ini perguruan tinggi kita harus diperdagangkan sementara dalam batang tubuh undang undang dasar kita mengamanatkan segala warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan bahkan lebih tegas lagi alinea ke 4 pembukaan undang-undang dasar 1945 mengamanatkan pendidikan sebagai kewajiban integral negara (melindungi seluruh tumpah darah dan bangsa, mensejahterakan seluruh kehidupan bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa dan membantu perdamaian abadi dunia). Hal ini diakibatkan karena Tema sentral UU BHP tersebut adalah komersialisasi pendidikan di Indonesia. Secara lebih rinci coba saya paparkan jadi International Conference on Implementing Knowledge Economy Strategies di Helsinki, Finlandia pada bulan Maret 2003, telah melahirkan apa yang disebut Knowledge Economy. Konsep ini adalah hal baru di sektor pendidikan yang dipakai di negara-negara dunia pertama. Apakah Knowledge Economy? Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya, maka industri di negara-negara maju membutuhkan kualifikasi buruh yang tidak saja terampil di bidangnya, namun juga mampu menguasai sistem teknologi dan informasi yang dipakai secara luas dalam dunia profesional Konsep Knowlegde Economy kemudian ditindak lanjuti dengan pertemuan WTO (World Trade Organisation) yang menghasilkan kesepakatan bersama antar negara-negara yang tergabung dalam WTO. Kesepakatan itu dirangkum dalam GATS (General Agreement On trade Service) yang menghasilkan keputusan cukup controversial bagi negara-negara dunia ketiga yaitu komersialisasi pendidikan atau pendidikan dimasukkan dalam bidang jasa yang layak untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan. Dan parahnya lagi, Indonesia meratifikasi kesepakatan tersebut. Follow up atau tindak lanjut dari ratifikasi kesepakatan tersebut dengan membuat Undang Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan. Yang sasaran utama dari UU BHP ini adalah perguruan tinggi di seluruh indonesia.

Jadi kalau saya boleh menarik kesimpulannya UU ini merupakan hasil ratifikasi pemerintah terhadap General Agreement On trade Service (GATS) WTO tentang jasa pendidikan. Padahal WTO merupakan salah satu organisasi dari negara-negara imperialis dan koorporasi-koorporasinya telah menyeret jutaan rakyat di belahan dunia dalam kemiskinan dan keterbelakangan

Lalu bagaimana pula dengan kondisi mahasiswa di indonesia, setali tiga uang dengan nasib perguruan tinggi di negeri kita mahasiswa pun demikian meskipun krisis yang dialami mahasiswa kita lebih pada idiologi yang telah diporakporandakan oleh globalisasi.

Meskipun Berbicara tentang mahasiswa seharusnya kita tidak akan lepas dari sebuah jargon "Perubahan" yang selama ini selalu sebagai garda depan pendobrak segala bentuk perubahan di negeri ini. Namun pada akhir-akhir ini jargon tersebut sepertinya sudah mulai asing di telinga kita. Sekarang mahasiswa hanyalah "Sekedar bahasa gaul yang tanpa makna" . Kalau kita mau bicara jujur sebenarnya kehidupan mahasiswa sekarang justru mengasingkan mahasiswa dengan apa yang disebut dengan mahasiswa sendiri. Kuliah yang seharusnya membawa mahasiswa menemukan jati dirinya ternyata menyebakkan mahasiswa dalam sebuah kesenjangan Kuliah pun membuat mahasiswa terpasung dalam diafragma kekaburan dan kamuflase maya sehingga mahasiswa tidak dapat melihat realita didepan mata dengan jernih. Kuliah kini hanya mengajarkan mahasiswa dalam sebuah paradigma hidup yang individualistik dan materialistik. Dan akhirnya kampus benar-benar menjadi arena pertarungan manusia-manusia yang hanya memburu selembar ijazah sebagai alat legitimasi sosial. Mahasiswa bukan belajar dari refleksi kenyataan hidup sehar-hari melainkan pola-pola egoistik yang hanya mementingkan diri sendiri sehingga menciptakan jenius-jenius yang tidak mengenal masyarakatnya sendiri. Kita harus jujur bahwa sistem pedidikan kita adalah sistem pedidikan feodal.

Cara berpikir yang apatis, membuat mahasiswa kurang bergairah dalam berorientasi dalam menemukan jatidirinya. Mahasiswa hanya berpikir datang ke kampus, pulang, makan dan tidur.Pokoknya bagaimana cepat lulus meski tidak balance dengan pengetahuan yang diperolehnya. Padahal kesemuanya itu adalah penjajahan secara idiologi dan nurani. Saatnyalah mahasiswa bangkit dan bergerak dari keterpurukan dan mencoba 'melek' terhadap fenomena sosial di sekitarnya, marilah kita kembali merenungkan dan merekonstruksikan, sebenarnya makna apa yang tersirat dan tersurut dari status kita sebagai mahasiswa. Haruskah kita diam ditempat dengan bahasa gaul yang kini sudah tak bermakna ini atau kita mencoba menggurat lembaran sejarah baru serta mencoba menorehkan sehingga kita dapat menemukan arti sejati dari makna mahasiswa.Kenapa harus muncul menara gading. Kuliah yang seharusnya dapat membawa mahasiswa menemukan jati dirinya ternyata menjebakkan mahasiwa dalam sebuah kesenjangan antara tradisi sendiri dengan dunia medernitas. Kuliah pun membuat mahasiswa terpenjara dalam benteng-benteng yang kokoh sehingga mahasiswa tidak dapat melihat realitas dengan jelas. Mahasiswa belajar dari atas,tapi bukan dari refleksi kenyataan hidup sehar-hari Memang lahir orang-orang pintar tapi orang pintar yang tidak mengenal masyarakatnya sendiri. Diakui bahwa sistem pedidikan kita adalah sistem pedidikan yang elite yaitu pola pendidikan kolonial Belanda yang ditujukan untuk mengisi jabatan dalam birokrasi pemerintahan. Usaha dalam proses penyadaran semestinya dilakukan sejak awal dari mahasiswa bahwa bagaimanapun posisi mahasiswa pada suatu saat pasti akan muncul kelompok elite yang akan memperkokoh struktur kekuasaan yang baru. Gerakan intelektual ini harus dijaga kelangsungannya mulai dari pra sarjana sampai pasca sarjana. Dasar utama gerakan intelektual adalah,mengenal masyarakat ,mengikuti perkembangan bangsa dan melakukan komunikasi intelektual dengan sesama serta menyalurkan aspirasi rakyat melalui media yang ada. Jika ini terlaksana maka akan mempertinggi mutu kemahasiswaan dalam keberadaanya secara keseluruan.

Ayo perguruan tinggiku bangkit, mahasiswa temukan jati diri, kembalikan pendidikan untuk rakyat, bukankah tujuan pendidikan selain mencerdaskan kehidupan bangsa adalah membangun peserta didik menjadi manusia sosial yang berjiwa merdeka, berjiwa kerakyatan, berjiwa kebangsaan, demokratis dan berjiwa kekeluargaan menurut kihadjar dewantara. Jadi selamatkan kampus dan mahasiswa kita, lebih luasnya anak bangsa ini. Jangan biarkan kampus dalam semangat semu. CABUT UU BHP.

Penulis adalah Pengurus LMND DIY Jogjakarta


read more...

LMND Lampung Dirikan Posko Usut Skandal Century

Rabu, 18 November 2009 | Bravo

Bandar Lampung (Berdikari Online) - Puluhan aktifis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) mendirikan posko anti korupsi di bundaran air mancur, kampus Universitas Lampung, Rabu (18/11).

Menurut koordinator posko, Isnan Subekhi, pendirian posko ini dimaksudkan untuk mengawal proses pengusutan skandal bank century. Sejumlah kelompok akan diundang hadir dalam konsolidasi posko ini, diantaranya gerakan mahasiswa, serikat buruh, organisasi petani, serikat rakyat miskin, dan LSM.

Menurut rencana, posko ini akan dijadikan sebagai sentral informasi mengenai perkembangan kasus skandal bank century. Disamping itu, akan digelar sejumlah kegiatan dan panggung gerakan, diantaranya mimbar bebas, pembagian selebaran, dan pengumpulan sejuta tanda tangan.

Melalui posko ini, lanjut Isnan, akan digalang sebanyak-banyaknya dukungan rakyat untuk penuntasan skandal century. Dukungan ini akan dikumpulkan melalui tanda tangan dan seruan untuk menggelar aksi massa.

"Kita akan terus memperjuangkan penuntasan kasus century ini. Bila DPR tidak becus memperjuangkan kasus ini, maka gerakan massa yang akan mengambil alih," ujarnya.

Menurut Isnan, penuntasan skandal century merupakan tekanan utama dari gerakan anti korupsi saat ini. Dengan begitu, prospek pemberantasan korupsi ke depan bisa dilihat, salah satunya, dari komitmen pemerintah mengungkap skandal ini.

ULFA ILYAS


read more...

Senin, 16 November 2009

Kekhawatiran LMND akan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

Bismilah,
KPK harus diselamatkan. Belum lagi usai menuntaskan tugas mulianya bagi rakyat, si cicak telah coba dimangsa oleh buaya. Lewat berita-berita yang disampaikan di media massa, dapat kami simpulkan: ada upaya sistematis dari pihak penegak hukum (Polri dan Kejakgung) untuk menzolimi KPK. Jelas bukan tidak sebab jika saat ini Rakyat sedang berpihak ke KPK.

Namun, jika gonjang-ganjing di KPK terus berlarut-larut, pengusutan Skandal Bank Century, yang ditengarai adalah kasus korupsi/pidana kelas kakap, pun akan menjadi terabaikan. Seperti Skandal BLBI, ia akan lambat laun terlupakan. Setelah memperhatikan perkembangan situasi dengan seksama, kami yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyatakan kekhawatiran akan masa depan pemberantasan korupsi. Kami juga sangat setuju dengan pandangan para ahli hukum dan pengamat politik di tanah air, yang menyatakan bahwa:

1. Polri dan Kejakgung telah tidak profesional dan arogan dalam bertugas, segala bentuk tindakan kriminalisasi terhadap KPK harus dihentikan.
2. KPK harus terus didukung terus agar fokus menuntaskan kasus-kasus Korupsi besar seperti Skandal Bank Century, BLBI dan lain-lain secepatnya.
3. Bebaskan BIBIT-CHANDRA! Selamatkan Gerakan Anti Korupsi dan Bangun Persatuan Nasional Anti Korupsi

Setidaknya kami yakin bahwa bahwa Rakyat sudah BOSAN dikelabui.

Wassallam,
Jakarta, 2 November 2009
Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(EN-LMND)

KETUA UMUM

LALU HILMAN AFRIANDI



Pjs. SEKRETARIS JENDERAL
AGUS PRIYANTO




read more...

Antiklimaks Pemberantasan Korupsi

Oleh: Rudi Hartono*)

Pada sore hari, 29 Oktober 2009, dua anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Bibit dan Chandra, ditahan oleh mabes Polri. Dalam penjelasan persnya, pimpinan Polri menegaskan bahwa penahanan ini dilakukan karena dua alasan; subjektif dan objektif.

Alasan obyektif antara lain ancaman hukuman di atas lima tahun serta telah terpenuhinya alat bukti yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka. Alasan subyektif adalah agar tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi perbuatannya.

Hanya saja, terkait dengan alasan subjektif ini, salah satu alasan utama Polri untuk menahan dua pimpinan KPK itu adalah seringnya mereka menggelar konferensi pers, dan cenderung berusaha menggiring opini publik untuk menguntungkan KPK.

Terkait persoalan ini, presiden SBY sendiri sudah menjelaskan sikap politiknya, yang disampaikan oleh Menkomimfo, Tifatul Sembiring. Menurut penjelasan Tifatul, presiden tidak akan campur tangan dalam persoalan penahanan Bibit-Chandra ini. Selain itu, presiden juga menegaskan bahwa dimensi penahanan ini bukan konflik antar lembaga; Kepolisian versus KPK.

Presiden Terlibat

Dalam penjelasannya di Sriwiya Post, Adhie Massardi menegaskan bahwa penahanan dua anggota KPK ini, Bibit dan Chandra, pasti mendapat restu presiden. Pasalnya, berdasarkan pengalamannya sebagai jubir di era Gusdur, presiden sebagai penanggung jawab tertinggi setiap persoalan politik dan hukum, pasti mendapat laporan dari bawahannya.

Dengan begitu, menurut keyakinan Adhie Massardi, setiap tindakan bawahannya pasti sudah dikonsultasikan lebih dahulu dengan presiden. Sangat aneh, misalnya, bila sebuah persoalan yang punya konsekuensi politik dan hukum seperti ini, justru tidak diketahui oleh presiden atau tidak berada di bawah kewenangan presiden.

Sebelum penangkapan ini, Polisi dan KPK memang terlibat dalam perseteruan panjang, beberapa kalangan menyebutnya pertarungan cicak versus buaya. Namun, untuk memahami makna perseteruan ini, ada baiknya melihat beberapa peristiwa hukum dan politik yang terlihat berkorelasi dengan kejadian ini.

Patut memahami kasus skandal bank century. Dalam kasus ini, sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari wapres sekarang ini, Budiono, menteri keuangan, Sri Mulyani, dan beberapa petinggi Polri, Susno Duadji, diduga terlibat dalam skandal memalukan ini.

Ada desakan kuat dari publik ketika itu, agar supaya persoalan dana century ini segera diungkap dan dituntaskan. Pada saat itu, setelah BPK yang didorong untuk ambil bagian untuk mengaudit, maka bola “harapan” rakyat pun diserahkan kepada KPK, agar mengambil alih penyelesaian kasus ini. KPK pun mulai bergerak, dan nama Susno Duadji pun terkuak.

Menghadapi “gerakan” KPK, Polri pun menggelar “counter-action”, sebuah tindakan preventif terhadap pergerakan KPK ini. Polri pun mencegat dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, terkait dugaan penyalah-gunaan wewenang dalam menerbitkan dan mencabut status cegah (larangan ke luar negeri), khususnya pencegahan terhadap pengusaha Anggoro Widjojo dan pencegahan sekaligus pencabutan cegah terhadap pengusaha Djoko Tjandra.

Tak hanya itu, seperti dilangsir oleh pemberitaan ANTARA, Mabes Polri juga menuding kedua pimpinan KPK itu menerima suap dan atau memeras pengusaha Anggoro Widjojo yang sedang terjerat kasus korupsi di KPK.

Perseteruan terus bergulir, dan presiden tidak menjadi penengahnya, malah terkesan mau berposisi diluar persoalan ini. Ini berpuncak pada munculnya dokumen “15 juli 2009”, yang ditantangani Anggodo Widjojo dan Ari Muladi. Dokumen sebanyak sepuluh halaman itu menguraikan kronologi dugaan suap kepada sejumlah petinggi KPK.

Anehnya, ada kesamaan substansi antara dokumen 15 juli, seperti yang ditunjukkan Fx. Lilik Dwi Mardjianto di harian ANTARA, dengan pernyataan Kapolri Bambang Hendarso Dahuri 25 September 2009, meski Kapolri mendasarkan pernyataannya dari laporan polisi yang dibuat mantan ketua KPK, Anthasari Ashar.

Puncaknya, kemudian, adalah tersebarnya sebuah transkrip pembicaraan antara Anggodo Widjojo (adik buron KPK, Anggoro Widjojo) dengan Wisnu Subroto (mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen), dan mencatut sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari Polri, Kejagung, hingga RI1 (baca, presiden).

Dalam transkrip percakapan tersebut, diduga ada upaya rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang saat ini sudah diberhentikan sementara karena sudah berstatus tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan dugaan menerima suap.

Presiden pun gerah dengan pencatutan namanya dalam transkrip itu, dan memerintahkan Polri untuk mengusut pelaku penyebaran transkrip ini. Ini sangat janggal, sebab presiden bukannya memerintahkan penyelidikan, malah mengambil kesimpulan terlalu dini, bahwa transkrip itu hasil rekayasa. Akhirnya, kepolisian pun berpendapat begitu, bahwa transkrip ini rekayasa.

Ini sangat janggal, sebab tidak disertai pengujian dan penelitian. Sebelumnya, polisi bisa memastikan bahwa sebuah website teroris di blogspot adalah resmi, meskipun banyak kejanggalan, sementara sebuah transkrip, yang dihasilkan dari penyelidikan kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT), tiba-tiba dianggap rekayasa. Ini menggelikan sekali.

Presiden Berpihak Kemana?

Perang opensif yang dilancarkan oleh aliansi Polri-Kejagung terhadap KPK, merupakan anti-klimak terhadap upaya formal pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasalnya, dua lembaga penegak hukum, yakni Polri dan kejagung, sudah mengalami krisis kredibilitas dihadapan rakyat, sementara KPK pamornya sedang naik.

Berdasarkan data Indonesian Corruption Wacth (ICW), sejak tahun 2005 hingga tahun 2008, dari 1.421 terdakwa kasus korupsi yang diproses di pengadilan umum, sebanyak 659 terdakwa divonis bebas dan sebagian yang lain divonis ringan. Hal itu sangat kontras dengan penanganan kasus korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dimana KPK menjadi pengasuhnya, justru belum pernah memutus bebas seorang terdakwa pun.

Dalam temuan survey Transparansi Indonesia (TI), misalnya, diketahui bahwa aparat penegakan hukum di Indonesia, khususnya kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, kurang dipercaya oleh masyarakat. Sementara itu, berdasarkan perbandingan dengan pengadilan 11 negara asia lainnya, pengadilan Indonesia adalah yang paling buruk.

Dengan begitu, usaha menjatuhkan KPK berarti usaha untuk melemahkan usaha pemberantasan korupsi, sebuah usaha untuk memberi angin segar kepada sejumlah koruptor kelas kakap di Indonesia, yang selama puluhan tahun sulit disentuh hukum.

Meskipun belum melumpuhkan KPK secara kelembagaan, tetapi berbagai opensif ini betul-betul menjatuhkan moril perjuangan KPK untuk menggulung para koruptor. Dengan rentetan kejadian akhir-akhir ini, ditambah tidak adanya pembelaan presiden, KPK benar-benar terjerembab dalam tekanan luar biasa.

Dalam situasi itu, sebetulnya, presiden berada di dalam dua pilihan; menyelematkan moral pemberantasan korupsi, atau membiarkan pemberantasan korupsi terlempar ke belakang.

Namun, dari berbagai pernyataan politik presiden hingga akhir ini, sepertinya presiden mengambil langkah pembiaran, dan berarti membiarkan agenda pemberantasan korupsi terpental ke belakang. Untuk ini ada beberapa alasan;

Pertama, Presiden punya kekuasaan politik yang besar untuk mengintervensi kasus ini dan menyelamatkan KPK. Ini bisa menjadi tindakan politik yang populer, sebab harapan rakyat untuk pemberantasan korupsi sedang berada di lembaga KPK, bukan di kepolisian, apalagi kejagung yang terkenal korup.

Akan tetapi, seperti diketahui, presiden tidak menggunakan sama sekali kekuasaan politik tersebut, sementara publik sangat mengharapkan itu. Kita perlu mengetahui apa motif di balik pembiaran ini?

Kedua, secara diam-diam, ternyata presiden dan pendukungnya di parlemen sedang mempersiapkan RUU Tipokor, yang oleh banyak pihak, dinilai justru memperlemah peran dan fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi.

Hal ini jelas mengecewakan publik, khususnya mereka yang sudah gerah dengan perilaku para koruptor. Dalam beberapa derajat, ini juga memutuskan harapan publik bahwa pemerintahan SBY-budiono berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Dengan begitu, sikap presiden ini telah menyuburkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan baru ini.

*) Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), Pimpinan Redaksi Berdikari Online, dan Pengelola Jurnal Arah Kiri.



read more...

Tetap Fokus dan Tidak Gentar Ungkap Skandal Bank Century Mahasiswa dan Rakyat Sematkan Pita Hitam sebagai Dukungan

Eksekutif Nasional
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND)
Kantor: Jl. Tebet Dalam II/G No. 1, Jakarta Selatan, 12810. | Telp/Fax: 021-8354513
e-mail : elemende@yahoo.com. Website : www.lmnd-online.org
TTPKO DEPDAGRI NO. INVENTARISASI : 150/DI/IX/2002

Tetap Fokus dan Tidak Gentar Ungkap Skandal Bank Century
Mahasiswa dan Rakyat Sematkan Pita Hitam sebagai Dukungan

Bismillah,

Terbongkarnya isi rekaman rekayasa kriminalisasi KPK sepanjang 4,5 jam di Mahkamah Konstitusi pada hari selasa kemarin, semakin menguak realitas mafia peradilan di negeri ini yang teramat hitam. Kita semua tentu tidak ingin bangsa Indonesia hancur karena korupsi. Oleh karenanya, dukungan moril dan politik terhadap KPK perlu diluaskan agar KPK bisa bekerja lebih keras lagi. Jika tidak, kita patut khawatir mega skandal Bank Century yang melibatkan uang rakyat Rp 6,7 triliun tertutup oleh isu besar. Kasus Perseteruan Polri dan KPK, tak boleh menenggelamkan sejumlah agenda dan isu besar. Apalagi, banyak pihak mensinyalir, ada kelompok tertentu yang ingin menutupi kasus ini dengan isu lain.

Karena itulah juga, hari Rabu, 4 November 2009, empat orang mahasiswa perwakilan dari empat kampus di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yaitu: Henky Mattan (Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga), Rahmat Sutopo (Universitas Negeri Semarang), Hendrik (Universitas Ronggolawe Tuban), dan Ulul Albab (IAIN Sunan Ampel Surabaya) menyatakan solidaritas bergabung dengan aksi mogok makan para mahasiswa UIN Jakarta, Universitas Sahid Jakarta, dan Universitas Bung Karno Jakarta di Gedung KPK yang sudah terlebih dahulu digelar sejak dua malam lalu. Solidaritas ini dimaksudkan sebagai peringatan agar KPK tidak lengah begitu Chandra dan Bibit ditangguhkan penahanannya, terutama agar tetap fokus mengungkap skandal Bank Century hingga KPK memiliki kebulatan tekad serta keyakinan yang besar untuk mengungkap kasus ini seterang-terangnya demi menjaga rasa keadilan masyarakat. Terlebih lagi, KPK merupakan pihak yang paling berwenang untuk menuntaskan skandal Bank Century secara efektif dan objektif.

Untuk itu, Kami, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) juga:
1. Meminta KPK agar tetap fokus dan tidak gentar dalam mengungkap Skandal Bank Century. Karena menurut pandangan kami, salah satu sebab KPK hendak “dikriminalisasikan” adalah agar KPK menghentikan pengungkapan skandal kelas kakap tersebut.
2. Meminta KPK untuk segera melakukak penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus century
3. Meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera menyelesaikan audit investigasi atas aliran dana talangan ke Bank Century yang sedianya beres 20 Oktober 2009 guna memperkuat proses penyidikan dan penyelidikan serta menjadi pijakan bagi KPK untuk menindaklanjuti jika terdapat penyalah gunaan wewenang. Hasil audit itu diperlukan juga bagi DPR yang tengah mendorong pembentukan panitia angket termasuk untuk mengklarifikasi kesimpulan prematur Kejaksaan Agung yang terlanjur melansir pernyataan tidak ada pelanggaran hukum dalam kasus ini.
4. Meminta kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menyematkan pita hitam di lengan kiri selama kasus/skandal Bank Century belum terungkap demi menyemangati KPK dan perjuangan kita semua.

Demikian harapan kami. Solidaritas dari semua kalangan sangat diperlukan agar pemberantasan korupsi dapat lebih cepat terwujud untuk Indonesia yang kita cintai. Oleh karena itu maka sudah sepatutnya mereka yang terlibat diproses sesuai hukum yang berlaku,. Terima kasih.


Jakarta, 4 November 2009

Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi - (EN-LMND)

Ketua Umum Pjs. Sekretaris Jenderal


Lalu Hilman Afriandi Agus Priyanto

CP : 0818467080



read more...

Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND)

Kantor: Jl. Tebet Dalam II/G No. 1, Jakarta Selatan, 12810. | Telp/Fax: 021-8354513
e-mail : elemende@yahoo.com. Website : www.lmnd-online.org
TTPKO DEPDAGRI NO. INVENTARISASI : 150/DI/IX/2002
Surat Untuk Kresna

Ungkap Skandal Bank Century demi Memberantas Mafia Hukum

Paspampres memiliki panggilan khusus (call sign) bagi RI 1 dan RI 2, dengan merujuk nama para pahlawan wayang. JK, yang kini sedang rehat, ber-call sign Arjuna, Megawati ber-call sign Nawang Mulan, sedangkan SBY sudah sejak 2004 adalah Kresna dan Boediono sebagai Rama paska 20 Oktober 2009 (“Arjuna Diistirahatkan, Rama Diluncurkan” Detik.com 26/10/2009). Kemarin Kresna, dalam Newslink 5/11/2009, menjanjikan akan memberantas mafia hukum dalam program 100-nya. Ia berkata, “Korban mafia hukum laporkan ke PO Box 9949 Jakarta 10000 dengan kode ganyang mafia.” Karena dalam sejarah (itihasa) wayang Mahabrata Kresna adalah avatar, atau penyelamat bumi, maka kami akan mencoba percaya, dan mengirimkan surat ini.

Sama sekali tidak ada yang buruk pada pencitraan Program 100 Hari Kresna dan Rama, tetapi yang kami tunggu hanyalah tuntasnya penyelidikan Skandal Bank Century. Jika benar tulus hendak memberantas mafia hukum, atau dalam bahasanya sendiri: ganyang mafia, Skandal Bank Century harus segera diungkap kepada masyarakat (sebuah langkah yang teramat sederhana bagi wewenang seorang Presiden).

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa publik lah yang paling menderita oleh sebab kenyataan mafia hukum/peradilan. Dengan membebaskan Anggodo, sama saja membenarkan penderitaan rakyat. Mungkin Kresna sudah lupa, bahwa masyarakat yang menjadi korban mafia hukum adalah rakyat yang sama, yang memenangkannya pada Pilpres 2009.

LMND tetap dalam pendiriannya, bahwa Skandal Century adalah pintu masuk utama untuk menggrebek para mafia hukum. Bedebah-bedebah itu, para belatung penghisap keringat rakyat, adalah sumber penderitaan bangsa, karenanya harus ditangkap dan dihukum seberat mungkin. Dengan ini kami:
1. Mendesak Presiden SBY agar mempercepat proses pengungkapan Skandal Bank Century. BPK juga harus mempercepat proses audit investigasi. Jika BPK tidak mampu, kami mendukung KPK untuk segera mengambil alih tugas penting tersebut.
2. Mendukung class action para nasabah Bank Century untuk menggugat SBY, Boediono, dan Sri Mulyani. Jelas antara mahasiswa, masyarakat, dan nasabah memiliki kepentingan yang sama, yaitu keadilan.
3. Mendesak Polri segera melakukan proses hukum terhadap Anggodo, Susno Duaji, dan Abdul Hakim Ritonga. Harus disadari: nama korps Bhayangkara telah sedemikian memprihatinkan di pandangan rakyat kebanyakan. Masyarakat sebenarnya rindu akan figur Kapolri yang sederhana dan tulus seperti Hoegeng atau Jaksa Agung yang jujur dan berani seperti Baharuddin Lopa.
Kami nyatakan pada seluruh bangsa Indonesia bahwa kami tak akan gentar menegakkan keadilan, kami berani karena benar.
Vox Populi Vox Dei
Jakarta, 6 November 2009

Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(EN-LMND)

Ketua Umum Pjs. Sekretaris Jenderal


Lalu Hilman Afriandi Agus Priyanto


(Cp: 0818467080)





read more...

TANTANGAN DAN PERJUANGAN KADER-KADER LIGA KEDEPAN

Oleh: Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi.

Model neoliberal yang dipraktekkan di Indonesia, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, telah menghadirkan sebuah gambaran sangat memprihatinkan; kemiskinan, pengangguran, kerusakan ekologi, diskriminasi social, dan sebagainya.

Dalam beberapa kesempatan, kegagalan ini menimbulkan penolakan dari berbagai sektor dan lapisan social secara intensif. Penolakan ini terekspresikan melalui berbagai bentuk perlawanan dan perjuangan yang berbeda-beda, dengan intensitas dan skala yang terus meningkat.

Hanya saja, memang, berbagai ekspresi perlawanan ini belum punya kapasitas untuk merobohkan kekuasaan neoliberal, apalagi menciptakan sebuah tawaran alternatif. Intensitas perjuangan dari berbagai sektor social ini, meskipun beberapa kali berhasil membendung pengaruh neoliberal, tetapi gagal dalam menghentikan rejim-rejim neoliberal yang silih berganti.

Inilah persoalan pokoknya; di satu sisi, ideology neoliberal sedang mengalami krisis legitimasi, dan rejim-rejim yang menganutnya pun turut merasakan krisis konsensus dari massa luas—tercerminkan oleh peningkatan persentase golput. Disisi lain, kelompok penentang neoliberal belum cukup terpercaya untuk membentangkan alternatif terhadap neoliberalisme.

A. Periode Ultra Konservatif

Dalam periode 1980-1990-an, atau era keemasan neoliberal, pembicaraan mengenai siklus anti imperialisme sudah berakhir, dan kekuatan-kekuatan penyangga gerakan anti imperialisme berjatuhan seiring dengan jatuhnya Sovyet dan Eropa Timur.

Dalam periode tersebut, kaum kiri atau progressif benar-benar tergusur dari panggung politik, dan dipaksa melakukan refleksi besar-besaran. Mungkin, itu yang disebut oleh Perry Anderson, dari New Left Review, sebagai periode kekosongan alternative terhadap tatanan yang berkuasa, semenjak mereka menerapkan reformasi neoliberal. Atau, seperti dikatakan Charles-Andre Udry secara definitive, bahwa gerakan buruh internasional sedang menghilang.

Saya bersetuju dengan seorang pemimpin sosialis Chile, Clodomiro Almeyda, ketika mengatakan bahwa kaum kiri jelas mengalami krisis hari ini, bukan hanya ketergantungan pandangan dan kegagalan mereka menciptakan program dan aksi, tetapi juga kelemahan mereka secara organic, hubungan mereka dengan masyarakat sipil, identifikasi mereka terhadap peran actual dan bagaimana menyelesaikannya.

Dalam konteks ini, perdebatan mengenai strategi politik menjadi sangat mengemuka, yang dalam pandangan Ellner, dibagi menjadi tiga pendekatan besar; aliansi lebar yang moderat, strategi lebar anti neoliberal yang konsisten, dan strategi anti imperialis.

Menurut saya, ada beberapa hal yang patut dicermati; pertama, periode ini bukan hanya menandai kegagalan soviet dan eropa timur, dan banyaknya orang yang mempertanyakan kembali sosialisme abad 20, tetapi juga keberhasilan kapitalis mengadaptasi situasi baru melalui pemanfaatan teknologi baru dan berupaya menutupi setiap krisisnya.

Kedua, neoliberalisme bukan saja memukul sektor luas melalui penghisapan ekonomi, perampasan sumber daya, tetapi juga melakukan penghancuran besar-besaran terhadap karakter dan kebudayaan. Melalui aparatusnya, neolib berhasil mengatomisasi masyarakat menjadi individu ekonomis di bawah pasar, dalam pandangan Sosiologis Kuba Antonio Juan Blanco, menghasilkan manusia sampah yang sulit didaur ulang secara social dan keseluruhan bangsa-bangsa yang kehilangan orientasi (frustasi).

Dalam sepuluh tahun terakhir, setelah berakhirnya era kediktatoran militer orde baru, terjadi proses penerapan demokrasi liberal yang sangat intensif. Dalam beberapa aspek, medan politik pada era orde bary sangat berbeda dengan ketika demokrasi liberal mulai diterapkan, terutama cara mereka menundukkan rakyat luas.

Menurut saya, setiap kekuasaan dari kelas yang berkuasa, selalu membutuhkan dukungan dari mayoritas kelas, dalam bentuk consensus atau legitimasi. Sebab setia administratur atau pemerintahan hanya dapat berjalan, bila mendapatkan consensus atau legitimasi. Dalam prakteknya, baik era kediktatoran militer maupun demokrasi liberal, proses pembentukan legitimasi ini dilakukan melalui cara yang berbeda.

Pada era kediktatoran militer, penggunaan apparatus kekerasan dan koersif sangat menonjol, dan tidak menciptakan sedikitpun ruang bagi oposisi. Sementara itu pada era demokrasi liberal, proses ini berlangsung melalui pengutamaan aturan main yang seolah-olah menarik keterlibatan semua pihak untuk berkompetisi, dan ditopang oleh sebanyak mungkin apparatus ideology dan manufacturing consent, khususnya media massa.

Dalam lapangan praksis, perbedaaan ini juga mempengaruhi bentuk dan cara rejim berkuasa untuk menjalankan penindasannya. Hal ini, tentu saja, membutuhkan respon dan bentuk penggunaan strategi-taktik yang berbeda pula oleh kaum pergerakan. Sayangnya, persoalan ini kurang mendapatkan perhatian, dan malah seringkali mendapatkan pengabaian.

Berikut ini, saya hendak menuliskan beberapa tantangan khusus dalam situasi sekarang ini;

1. Krisis politisi dan institusi politik;

Ada pertumbuhan apatisme terhadap kehidupan politik, termasuk partai dan politisi. Ini tercermin dari kelesuan partisipasi rakyat mendatangi kotak-kotak suara pada setiap pemilihan, baik pemilu lokal maupun nasional. Selain itu, masyarakat terkesan tidak mau ambil pusing dengan perdebatan-perdebatan politik di parlemen.

Mungkin, bagi kaum kanan, mereka tidak mempedulikan krisis politik dan politisi ini, sebab mereka dapat berkuasa tanpa menggunakan partai politik, seperti pengalaman para teknokrat dan kediktatoran militer. Akan tetapi, bagi kaum kiri, keberadaan partai menjadi prasyarat utama untuk melakukan penentangan terhadap sistim ini.

Kita sedang diperintah oleh, mengutip Franz Hinkelammert, sebuah demokrasi agressiif, dengan kehadiran keterwakilan tanpa consensus.

Dalam setiap pemilu, rakyat selalu mendapatkan janji-janji perubahan dan perbaikan kesejahteraan. Pada kenyataanya, pemerintahan dan anggota parlemen yang terpilih, sangat jarang meletakkan keberpihakannya kepada mayoritas rakyat yang terpinggirkan. Para politisi itu segera melupakan janji-janjinya, dan memilih berkolaborasi dengan kepentingan pemodal.

Disamping itu, ada upaya tersistematisasi untuk mendepolitisasi dan mendeideologisasi rakyat luas, dan menawarkan konsumtifisme, sinisme, dan individualisme sebagai jalan keluarnya. Media berkali-kali membesar-besarkan pemberitaan yang menyudutkan parlemen dan perilaku politisi.

Dalam banyak kejadian, keputusan-keputusan penting dan mengusai hajat hidup rakyat banyak tidak diputuskan di lembaga parlemen, melainkan lembaga-lembaga yang tidak mempunyai mandat dan sulit dikontrol, seperti bank dunia, IMF, WTO, otoritas keuangan, bank sentral, korporasi raksasa dan sejenisnya.

2. Peran Media Massa

Dalam era demokrasi liberal ini, yang memanfaatkan aparat koersif dan apparatus ideology, keberadaan media memainkan peranan yang sangat penting. Sekarang ini, media telah mempengaruhi sebagian besar massa luas, dan sanggup mengarahkan persepsi mereka untuk menuruti keinginan kelompok di belakang media.

Televisi, misalnya, yang sudah menjangkau 80% penduduk Indonesia, memainkan peranan besar dalam mengendalikan persepsi masyarakat, mengalihkan isu, dan memasukkan unsure-unsur propaganda pemerintah kepada pemirsa. Apalagi pada tahun 2010 ini, bank dunia akan memprakarsai perluasan teknologi investasi telekomunikasi ini hingga pedalaman. Mirip dengan gebrakan Deandels ketika mendorong modal sampai ke pedalaman.

Dengan kepelimikan media yang semakin terkonsentrasi pada segelintir tangan, terutama klik elit di sekitar kekuasaan, media akan berjalan bukan saja untuk mensukseskan akumulasi modal, mendorong minat konsumsi, tetapi juga, yang terpenting, sebagai bala tentara ideologis kelas berkuasa untuk menindas kesadaran massa rakyat.

Dalam kancah pertempuran ideologis ini, terutama untuk menghadapi pembelokan opini dan manipulasi kesadaran oleh media mainstream, dalam bahasa Chomsky, rakyat membutuhkan unit pertahanan intelektual untuk melindungi dirinya dari effek media mainstream.

Selain itu, perkembangan sistim informasi juga turut menjadi bahan bakar percepatan perkembangan media. Sekarang, misalnya, media informasi bukan saja melalui kotak bernama Televisi dan radio, ataupun surat kabar, tetapi sudah dapat diakses secara online dan melalui ponsel masing-masing. Sebagai contoh, perkembangan facebook sudah menjangkau hingga pedalaman, dan menciptakan banyak efek negatif bagi kaum muda.

Menurut saya, menghadapi perang ideologis ini kita tidak bisa sekedar bersandar pada metode agitasi dan propaganda terbatas, seperti koran, bulletin, dan internet, tapi harus mempergunakan seluruh ruang propaganda untuk mengimbangi pengaruh media borjuis; kita sudah harus memperhitungkan model propaganda sederhana, murah, dan massal, serta mempergunakan bahasa “rakyat”. Disamping itu, kita sudah harus membuat sebuah media tandingan, mungkin menyerupai radio komunitas dan sejenisnya, untuk mengimbangi propaganda media itu dan melakukan perlawanan tanpa henti terhadap praktik manipulatif media borjuis.

3. Konsumerisme

Konsumerisme harus dipahami bukan hanya sebagai praktik ekonomi, yaitu kegiatan mengkonsumsi barang produsen, tetapi lebih jauh harus dipahami sebagai bentuk kebudayaan klas kapitalis. Dalam bangunan suprastruktur, dia mewakili kebutuhan sistim ini untuk terus mendorong kelangsungan akumulasi profit.

Dengan konsumerisme, orang dipaksa untuk tetap hidup dan berkonsumsi bukan berdasarkan pendapatannya (income), melainkan melalui utang (debt). Dengan begitu, orang-orang akan mengejar kebutuhan secara berlebihan, dan terus motivasi untuk menambah kemampuan membelinya dengan pinjaman (kredit). Namun, seperti dikatakan Thomas Moulian, sistim ini diciptakan sebagai mekanisme domestifikasi.

Kegiatan berutang secara massif bukan saja diperuntukkan bagi pemeliharaan atau memperluas pasar, tetapi juga beroperasi sebagai alat integrasi social. Lebih jauh, hedonisme menjadi agama dan kebudayaan baru dari masyarakat; setiap orang dipaksa untuk menjamin dirinya tetap bekerja dan mempunyai pendapatan, sehingga dapat terus menerus membeli barang-barang kebanggaannya; mobil terbaru, pakaian trend terbaru, rumah, dsb. Akhirnya, mereka rela berkorban untuk kebudayaan baru dan mimpi sesaat ini, dan melupakan cita-cita kolektif dan tujuan jangka panjang.

Terkait hal ini, Andi Mallarangeng pernah mengatakan, bahwa anak muda sekarang lebih pusing memikirkan blackberry atau ponsel model terbaru, ketimbang memikirkan pancasila ataupun kemerdekaan.

Sekarang ini, kita berhadapan dengan masyarakat yang sangat pragmatis, dan rela mengorbankan cita-cita jangka panjangnya hanya untuk mendapatkan makan sehari atau sebulan. Seorang sopir taksi misalnya, ketika saya menanyakan soal pentingnya pemilu, memilih menjalankan pekerjaannya untuk memberi makan keluarganya, ketimbang menggunakan lima menit waktunya untuk menentukan masa depan bangsa ini.

4. Fragmentasi Sosial

Semenjak neoliberalisme melakukan penetrasi lebih jauh dalam kehidupan sosial masyarakat, maka masyarakat pun mulai terpecah belah dalam fragmen-fragmen kecil. Ini adalah strategi fragmentasi atau disorientasi social. Metode ini dimaksudkan untuk memecah belah masyarakat secara social menjadi semacam unit-unit yang terpisah satu sama lain, sehingga mereka tidak mungkin menjadi satu kekuatan mayoritas yang bersatu.

Di tingkatan massa, proses pemecahan ini dilakukan terhadap unit kecil yang terpisah, terutama pengelompokan berdasarkan hobbie atau kegemaran. Di kalangan pekerja, proses pemecahan ini dicapai melalui penerapan kompetisi di tempat kerja, terutama akibat penerapan kebijakan pasar tenaga kerja yang liberal.

Di kalangan gerakan social, proses fragmentasi menjadi penyakit akut dan berlangsung semenjak lama, terutama dalam persoalan spesifikasi issue dan metode kampanye. Proses ini semakin meningkat karena dibantu oleh LSM/NGO, yang mengarahkan masyarakat atau sektor social untuk berkonsentrasi pada isu dan tuntutan yang spesifik.

B. Situasi Di Indonesia

1. Dua Gelombang: Melanjutkan Neoliberalisme dan Mengakhiri Neoliberalisme

Sekarang ini, ada dua kekuatan besar yang sedang berhadap-hadapan di Indonesia, yakni kekuatan yang hendak melanjutkan neoliberalisme, dan kekuatan politik yang mau mengakhiri proyek neoliberalisme sembari menawarkan alternatif.

Kekuatan yang menghendaki kelanjutan neoliberal adalah seluruh spectrum politik yang berdiri di belakang koalisi SBY-Budiono. Di dalamnya terdapat para teknokrat hasil didikan IMF dan bank dunia, lapisan kapitalis nasional yang bersekutu dengan modal asing, pimpinan media swasta, elit-elit politik oportunis (Parpol koalisi pendukung SBY), dan sejumlah kaum demokrat liberal—sebutan bagi aktifis dan aktifs LSM pro neoliberal.

Di samping itu, kaum intelektual dan kelas menengah sering memperlihatkan dukungan kepada kubu neoliberal ini, hanya karena klaim pemerintahan bersih dan professional.

Sementara kelompok yang menghendaki neoliberalisme segera berakhir berasal dari beragam kelompok social, mulai dari spectrum reaksioner (kelompok fundamentalis), kapitalis nasional, nasionalis progressif, dan kaum sosialis.

Disamping itu, sejumlah faksi kapitalis peninggalan dinasti orde baru, juga memainkan peran dalam perlawanan terhadap neoliberalisme ini, khususnya untuk menghadapi faksi kapitalis nasional yang bersekutu dengan asing (Aburisal Bakrie, cs).

Di spektrum reaksioner, penentangan dilakukan oleh kelompok fundamentalis islam, yang menggunakan isu-isu anti neoliberalis, untuk menantang kekuasaan politik kafir, Amerika Serikat dan dunia barat.

Di kalangan kapitalis nasional, arus anti neoliberalisme menjadi sentimen umum di kalangan pengusaha nasional, terutama mereka yang kepentingan industrialnya berhadapan secara antagonis dengan pemodal asing, atau akibat tekanan liberalisasi. Seorang pimpinan KADIN, Bambang Susetyo, sering menulis kritikan pedas terhadap kebijakan neoliberal SBY, sembari menawarkan sebuah bentuk nasionalisme ekonomi. Sofyan Wanandi pun, dalam beberapa kesempatan, sering mewakili kecemasan APINDO terhadap dampak liberalisasi ekonomi.

Kalangan nasionalis progressif, baik yang berbendera marhaenisme ataupun tidak, sekarang ini terpecah belah; antara mengikuti gerbong PDIP yang ingin merapat ke koalisi SBY-Budiono atau tetap berdiri sebagai oposan. Sementara nasionalis gadungan, terutama hasil fragmentasi PDIP seperti PDP, PNBK, dan PNI Marhaenisme, sudah merapat lebih dulu merapat ke kubu neoliberal.

Di kalangan sosialis sendiri, yang merupakan fragmen paling kecil dari gerakan oposisi, masih terseret pada atomisasi yang menjadi-jadi, dan terbawa alur model “old social movement”. Mereka banyak disibukkan oleh agenda politik masing-masing, tanpa ada sebuah simpul yang dapat menyatukan agenda politik mereka.

C. Korelasi Perimbangan Kekuatan

Setelah radikalisme yang menyertai penumbangan orde baru, pada tahun 1998, situasi di dalam negeri nyaris tidak memperlihatkan perimbangan kekuatan yang baru; kelas berkuasa tetap mendominasi pengaruhnya terhadap mayoritas rakyat kita.

1. Perimbangan Kekuatan di dalam negeri

Dalam membahas korelasi kekuatan di dalam negeri, perlu untuk membahas tiga sektor yang memainkan peranan penting dalam pertempuran politik; kelas kapitalis nasional, massa rakyat tertindas (kelas terhisap), dan imperialisme global.

Selama tahun 1990-an, kapitalisme secara global berhasil melancarkan perang offensive terhadap tenaga kerja. Pada periode awal serangan ini, kelas kapitalis nasional memainkan peran sebagai sekutu yunior dari kapitalis internasional, terutama ketika membangun aliansi bersama untuk menekan kelas pekerja. Namun kemudian, dalam proses ini selanjutnya, sebagian kelas kapitalis nasional menderita akibat konsekuensi liberalisasi dan tekanan kapitalis asing. Ketika perdanganan bebas diberlakukan, mereka kehilangan posisi kompetitifnya; dan ketika terjadi proses penghilangan peran Negara (de-nasionalisasi), mereka semakin menderita sebab kehilangan benteng pelindungnya, khususnya ketika berhadapan dengan competitor dari luar.

Gejala de-industrialisasi atau kehancuran industri nasional bukan saja merugikan kelas pekerja, tetapi merugikan seluruh sektor di dalam negeri, termasuk kapitalis nasional. Terjadi konflik intensif antara agenda perdagangan bebas dengan kapitalis nasional yang bergantung kepada pasar internal atau di dalam negeri.

Disamping itu, perampokan seluruh sumber daya alam kita oleh pihak asing telah menciptakan kelangkaan bahan bakar, pangan, dan sarana produksi, sehingga memicu perlawanan rakyat di berbagai tempat. Hanya saja, memang, rakyat menjalankan sendiri perlawanannya, dan biasanya tidak dipimpin oleh gerakan sosial.

Di Indonesia, model gerakan sosial seperti di amerika latin tidaklah muncul, sebab gerakan sosial di Indonesia dipimpin oleh NGO yang memperoleh dananya dari USAID dan sejenisnya. Sementara di amerika latin, gerakan sosial dipimpin oleh kalangan progressif, seperti aktifis, gereja progressif, nasionalis, dan orang-orang kiri independen. NGO dan gerakan sosial di Indonesia lebih berperan sebagai agen pengkooptasi, sebab mereka menentang mobilisasi politik dan segala bentuk partisipasi politik (lihat penentangan mereka terhadap agenda pendirian Papernas dan politik kerjasama antara papernas dan PBR).

Secara umum, perlawanan berbagai sektor rakyat di Indonesia sangat mudah dipatahkan, mungkin karena alat represi ideologis kelas berkuasa masih sangat kuat, sehingga sanggup mengkanalisasi dan menjinakkan gerakan spontan dan terlokalisir.

Pengaruh krisis financial, yang juga mempengaruhi kongjuntur politik di negeri-negeri imperialis, seperti kasus Jepan dan AS (dua pemodal terbesar di Indonesia), tidak begitu mempengaruhi proyek neoliberal di Indonesia. Kelihatannya, dengan melihat gelagat pemerintahan SBY di akhir jabatannya, kelihatannya kendaraan neoliberal di Indonesia akan melepas rem-nya, sehingga akan berjalan kencang dan tidak terkendali.

Meskipun kendali pemerintahan AS kelihatan berkurang di beberapa belahan dunia, seperti di amerika, tetapi kelihatannya geopolitik modal sedang mencari tempat yang lebih tenteram di Asia timur, Asia tenggara, Timur tengah, dan afrika.

2. Perimbangan Kekuatan Internasional

Selama beberapa dekade, terutama sebelum dan setelah perang dunia ke II, AS menjadi salah satu kekuatan superpower di dunia; memiliki kekuatan politik dan militer paling disegani selama beberapa dekade, disamping merupakan Negara terkaya dan ekonomi nasional paling produktif di dunia.

Akan tetapi, bagi Peter Drucker, AS sekarang ini bukan lagi sebagai kekuatan ekonomi dominan. Menurutnya, ekonomi dunia sekarang ini lebih pluralis, dengan sejumlah blok-blok ekonomi yang substansial. Sekarang ini, misalnya, terdapat blok ekonomi dan politik seperti Uni Eropa, Brazil- Russia-India-China (BRIC), ALBA, dan sejumlah bangsa-bangsa yang kini menjalankan proteksionisme.

Namun, bagi Leo Panitch, krisis financial dan perkembangan dunia sekarang ini belumlah menggeser posisi dominan dan keistimewaan AS. Menurutnya, dampak krisis financial paling banter hanya memerosotkan sedikit posisi ekonomi AS, tetapi belum menghapusa posisi dominannya dalam ekonomi global.

Leo Panitch mencontohkan, Federal Reserve (Bank Sentral AS) kini masih berfungsi seolah-olah menjadi bank sentral dunia. Disamping itu, penyokong material kekuatan hegemonic ekonomi global masih bersandar di New York, markas besar perusahaan financial raksasa dunia. AS juga masih mengambil keuntungan dan supremasinya dari penggunaan dollar sebagai alat tukar perekonomian global.

Meskipun begitu, ada beberapa peristiwa yang mempengaruhi perimbangan kekuatan AS dalam geopolitik dunia, diantaranya kegagalan invasi ke Irak dan Afghanistan, kekalahan electoral partai republic, dan menyusutnya sekutu eropanya. Disamping itu, AS terlihat tidak berdaya menghadapi tantangan sejumlah pemimpin anti imperialis akhir-akhir ini, terutama Hugo Chaves, Ahmadinejad, dan Khadafi.

D. Faktor-faktor Menguntunkan

1. Krisis Sistim neoliberalisme

Neoliberalisme sedang mengalami suatu, mengutip Emir Sader, kebangkrutan total, berupa kegagalan proyek ekonomi pasar bebas, krisis ekologi, dan dan over produksi. Di tingkat global, kapitalisme neoliberal sedang diguyur puing-puing ambruknya raksasa-raksasa financial.

Di Indonesia, krisis sistim neoliberal sudah berlangsung semenjak pemerintah mengadopsi kebijakan penyesuaian structural (SAP), pada tahun 1999, yang menyebabkan lebih dari separuh penduduknya terpuruk dalam kemiskinan.

Selain itu, neoliberalisme mengalami krisis ideology. Untuk mempertahankan stabilitas sebuah sistim, maka diperlukan reproduksi kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya untuk menopang keberadaan sistim ini. Sekarang ini, setelah satu dekade penerapan proyek neoliberal, muncul krisis legitimasi terhadap seperti ini.

Di Indonesia, semakin banyak pihak yang menyadari keterbatasan dari sistim neoliberal ini, dan ketidakmampuannya untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat kita. Manifestasi penolakan ini sangat beraneka ragam, mulai dari bentuk protes biasa hingga bentuk perlawanan massa.

Dalam pemilu presiden 2009, misalnya, ideology neoliberal dicercah sebagai ideology yang jahat, punya tujuan busuk, dan memiskinkan rakyat, sehingga tidak satupun kandidat presiden dan wapresnya yang mau mengaku sebagai pengusung neoliberal. Artinya, di mata pengusungnya pun, neoliberal kini dianggap sebagai hal yang busuk sehingga perlu disembunyikan.

2. Demokrasi Liberal sedang Terdiskreditkan

Dalam setiap pemilihan, angka orang yang berpartisipasi dalam memberikan suara semakin menurun, terutama di kalangan orang muda. Dalam pilkada, angka golput mencapai 40-60%, demikian pula dengan pemilu nasional, yang angkanya juga berkisar 40%.

Dalam banyak kasus, kegagalan demokrasi liberal bukan hanya tercermin dari ketidakmampuan mereka melahirkan perubahan yang signifikan, tetapi juga penyelenggaraan pemilu curang yang terjadi berulang kali.

E. Merubah Keadaan

Bagaimana merubah keadaan ini? Ini merupakan pertanyaan utama sekarang ini. Menjawab pertanyaan ini tidak bisa sekedar berteriak lantang; Revolusi! Demikian pula dengan mencoba mencomot sana sini atau tipsani (kutip sana sini) teori atau pengalaman revolusi abad 20, khususnya Rusia dan Tiongkok, tentu juga bukan jawaban yang tepat.

Pertama, mungkin, persoalan yang perlu dijawab oleh kaum kiri adalah bagaimana mengubah pandangan masyarakat yang apolitis, skeptis dengan partai dan politis, dan sangat pragmatis ini.

Untuk itu, jawabannya adalah mempolitisasi mereka. Disini, konsep mempolitisasi bukan sekedar menganjurkan atau menyerukan rakyat untuk terlibat gerakan politik atau menggabungkan diri dalam organisasi politik kiri, tetapi harus diarahkan kepada tindakan nyata untuk menarik partisipasi politik mereka.

Pertama, Harus ada usaha untuk menunjukkan “bukti” kepada rakyat luas bahwa kaum kiri memang sanggup menjadi administratur (pemerintah) yang baik, bersih, dan bertanggung jawab. Untuk menempuh ini, kita harus mempunyai pengalaman memerintah, baik di pemerintahan local maupun nasional, dimana kita menampilkan politik yang berbeda di sana.

Ini sangat menarik, misalnya PKS berupaya menarik dukungan rakyat untuk menempatkan kadernya di pemerintahan local dan parlemen, hanya dengan menonjolkan politik bersih dan santun. Meskipun kini PKS meredup karena pilihan sikapnya yang menghamba pada neoliberal, tetapi mereka berhasil membuktikan bahwa “orang-orang mereka” sedikit berbeda dengan politisi dari partai lain.

Kedua, mendorong partisipasi luas masyarakat dengan berbagai cara; menunggangi program social neoliberal (BLT, PNPM, BOS, dsb) sebagai pintu masuk untuk mengorganisir mereka, ataupun dengan metode anggaran partisipatoris.

Ketiga, memenangkan perebutan institusi-instutusi tingkat RT/RW, sebagai alat mengorganisasikan, melatih, dan mendorong partisipasi kerakyatan. Disamping itu, ruang-ruang partisipasi lain, seperti lembaga di tingkat desa, musrembang, dan sebagainya, juga bisa menjadi kendaraan untuk menguji dan melatih kemampuan massa dalam berjuang.

Di level yang lain, partai dan ormas-ormasnya juga harus aktif membangun dan memenangkan ruang-ruang massa, seperti komunitas pedesaan, memenangkan pengurusan BEM universitas/kampus, koperasi, warung kolektif, hingga stasiun radio alternative.

Strategi Memanjat Kekuasaan

Setelah berakhirnya kediktatoran, banyak kaum kiri yang tidak sanggup merespon dengan baik perkembangan situasi yang baru, seperti pengalaman CPP di Philipina, PRD di Indonesia, dan sebagainya. Dalam situasi yang baru, beserta metode dan cara penindasannya yang baru, kaum kiri selalu gagap dan akhirnya kehilangan tempat dalam proses transformasi yang terjadi.

Kaum kiri terbelah dua dalam menghadapi persoalan ini; kelompok pertama focus untuk memenangkan ruang di dalam struktur demokrasi liberal, sementara kelompok yang kedua mempromosikan organ tandingan untuk kekuasaan rakyat.

Untuk kelompok pertama, strateginya adalah memanjat kekuasaan dari pemerintahan local ke pemerintahan provinsi, baru kemudian menjangkau level nasional. Ini mengacu kepada pengalaman administrasi komunitas di partai buruh (PT) Brazil dan pemerintahan kotamadya di Front Luas (Frente Amplio) di Uruguay.

Tidak dapat disangkal lagi, model “sosialisme kotamadya” ini berhasil mengembalikan kepercayaan diri kaum kiri untuk turut bertarung dalam politik yang lebih luas, disamping keberhasilannya mengorganisasikan, meradikalisasi, dan menginspirasi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan politik,

Dengan penganggaran partisipatif (AP), PT berhasil menawarkan bentuk demokrasi dan ekonomi yang berbeda dengan neoliberal. Untuk pertama kalinya dalam program ini, ada distribusi anggaran yang menyasar kepentingan orang miskin, dan untuk pertama kalinya pula rakyat terlibat kuat dalam mendiskusikan kebutuhannya. PT berhasil meradikalisasi kesadaran rakyat, serta mampu menunjukkan keterbatasan program social neoliberal.

Pengalaman PT dan Frente Amplio (FA) dalam mengelola pemerintahan lokal, dengan segala perbedaan dan kekurangannya, turut mengakumulasi kekuatan dan memupuk suara mereka hingga kemenangan electoral di tingkat nasional.

Kelompok kedua adalah mengutamakan penentangan terhadap kerangka institusi formal demokrasi borjuis dengan mengedepankan mobilisasi social, dan menolak berpartisipasi dalam ajang electoral.

Menurut Marta Harnecker, perjuangan mengelola pemerintahan local harus dianggap sebagai suatu ruang yang juga dapat digunakan untuk menciptakan kondisi-kondisi budaya dan politik yang dibutuhkan bila kita hendak melangkah maju menuju pengorganisasian masyarakat yang mandiri.

Dalam mengukur perimbangan kekuatan politik, mengutip Marxist Italia, Antonio Gramsci, mengelola pemerintahan local dapat diletakkan sebagai ruang mengakumulasi kekuatan. Dalam kasus PT dan Frente Amplio, keberhasilan mereka dalam mengelola pemerintahan di sejumlah kotamadya menjadi basis yang menentukan kemenangan mereka di pemilu nasional.

Memanjat Kekuasaan: Memenangkan Pemerintahan Lokal

Dalam sepuluh tahun terakhir, penetrasi kapitalisme global bukan hanya menjangkau Negara atau sebuah wilayah ekonomi, tetapi sudah menjangkau lapisan luas masyarakat hingga unit paling kecil. Penetrasi itu bukan saja berbentuk eksploitasi ekonomi, tetapi juga penghancuran segala syarat-syarat bagi transformasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Saya berkesimpulan, sebuah transformasi sosial tidak bisa ditunggu atau ditetapkan berdasarkan momentum-momentum yang berubah-ubah, akan tetapi harus diciptakan atau dibangun. Buah dari pohon tidaklah harus ditunggu hingga jatuh, tetapi harus segera dipanjat. Inilah esensi dari strategi memanjat kekuasan.

Disamping itu, ada kecenderungan di mata rakyat untuk memandang sama setiap partai politik atau politisi; sama-sama suka berjanji dan berkhianat setelah pemilihan. Ini juga mempengaruhi pendapat pemilih terhadap caleg-caleg aktifis yang diajukan dalam pemilu kemarin, dimana mereka belum melihat perbedaan signifikan antara aktifis dengan caleg lain.

Menurut saya, ada beberapa target politik yang hendak dicapai dari pemerintahan lokal seperti ini; pertama, menjadi lapangan uji soal bagaimana kita memerintah atau menjalankan sebuah kekuasaan untuk rakyat banyak. Selama ini, kita selalu dipandang sebagai tukang kritik tanpa mengajukan solusi praktis.

Kedua, pemerintahan lokal dapat menjadi arena bagi kaum kiri untuk mendemonstrasikan kemampuannya guna membuat alternative diluar kapitaalisme, seperti pengalaman partai buruh Brazil dan Frente Amplio. Bentuk keberhasilan sekecil apapun, seperti pengalaman Erundina Zousa yang hanya berhasil mengelola sistim transfortasi modern di Kota Sao Paulo, atau pengalaman pendidikan gratis di Jembrana, Bali, akan menjadi point penting untuk menaikkan kredibilitas politik dan partai di tingkat nasional.

Ketiga, pemerintahan lokal dapat digunakan untuk mempolitisasi, mengorganisasikan, dan mendorong partisipasi rakyat dalam mempersiapkan syarat-syarat bagi transformasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Ada pengalaman menarik di Brazil, kaum kiri dapat memenangkan pemilu dalam satu putaran, meskipun aksesnya di media diblokade. Sebagai contoh, masyarakat di kotamadya Porto Alegre, ibukota Rio Grande Do Sul, yang telah memilih walikota dari partai buruh (PT) tiga kali. Masyarakat memilih PT karena pengalaman mereka memerintah. Sekitar 130 ribu orang dari 1,3 juta jiwa penduduk di kota itu pernah terlibat dalam penganggaran partisipatif.

Dalam kasus itu, propaganda negatif yang diarahkan media TV dan cetak, yang dikontrol pemilik media dan elit oligarkhi, tidak sanggup mengalahkan praktik demokrasi langsung pemerintahan lokal.

Selama ini, pengalaman intervensi pilkada masih sebatas merebut ruang untuk propaganda dan memenangkan program, belum sampai pada upaya merebut administratur dan kekuasaan politik lokal. Dalam beberapa kasus, kita berhasil mendukung seorang kandidat berdasarkan kesamaan program, tetapi, setelah berkuasa, program itu banyak yang ditinggalkan.

Strategi Politik Nasional : Front Politik Kemandirian Nasional

Berhadapan dengan musuh yang terlampau kuat, tentu saja memerlukan perimbangan kekuatan yang relative sama. Sekarang ini, misalnya, kubu neoliberal memonopoli seluruh struktur politik (parlemen, eksekutif, yudikatif), menghegemoni masyarakat luas melalui media, dan memegang control terhadap seluruh apparatus kekerasan.

Kita membutuhkan sebuah konsep politik sebagai alat pembangunan sosial untuk mengubah korelasi kekuatan saat ini. Disini, kita perlu mentransformasikan gerakan rakyat menjadi sebuah front politik yang menentukan, sehingga mempengaruhi perimbangan kekuatan.

Neoliberalisme akan memiskinkan mayoritas rakyat kita. Lebih jauh, ekses neoliberalisme merugikan banyak sektor sosial; mulai dari sektor pekerja, petani, pegawai rendahan, anggota asosiasi koperasi, produsen kecil di pedesaan dan perkotaan, dan kalangan pengusaha menengah dan kecil. Perlu dicatat pula, bahwa neoliberalisme menyebabkan pertumbuhan sektor informal secara massif. Sekarang ini, menurut catatan OPSI, sektor informal sudah mencapai 70% dari seluruh angkatan kerja.

Selain itu, kita harus menambahkan sektor kapitalis nasional yang, mengutip Marta Harnecker, telah memasuki kontradiksi objektif dengan kapitalis multinasional. Disini, kita mengacu kepada kapitalis nasional yang sangat bergantung pada kredit dari Negara, dan diuntungkan oleh pasar internal bagi produk-produk merek.

Di lapangan politik, penentangan terhadap neoliberal juga dilakukan oleh politisi dari berbagai latar belakang partai politik. Pada umumnya, spectrum politik mereka adalah nasionalis dan faksi-faksi politik yang kurang diuntungkan oleh neoliberalisme.

Politik adalah seni membangun kekuatan sosial kerakyatan untuk menjalankan oposisi terhadap system, pada saat yang sama, harus disadari bahwa kekuatan ini harus dibangun atau diciptakan sendiri oleh kaum kiri. Ini berarti, kita harus bertindak dalam dari waktu ke waktu untuk menciptakan peluang, bukan menunggu waktu. Dan, sanggup untuk memetik atau memilih kapan mengkonsentrasikan energi pada sebuah ruang atau konflik (pertentangan) yang muncul.

Untuk itu, kita harus membangun sebuah front politik patriotik, dengan menciptakan ruang untuk menampung seluruh sektor-sektor dan kekuatan politik diatas ke dalam satu kolom;

1. memaksimalkan pembangunan front politik anti neoliberal dengan menyeret seluruh ormas, serikat, dan organisasi-organisasi yang berhaluan anti neoliberal; baik di tingkat nasional maupun lokal.
2. mengkonsolidasikan para politisi, mantan aktifis, yang tersebar di berbagai partai politik dan bidang profesi, dengan menyodorkan platform anti neoliberalisme dan nasionalisme progressif.
3. memulai mengintensifkan kerjasama dengan asosiasi pengusaha nasional, asosiasi peritel nasional dan pasar tradisional, pemilik UKM, dan sektor-sektor produksi nasional lainnya, untuk menarik mereka dalam front politik. Kita harus mampu menyakinkan kelompok bisnis mengenai pentingnya sebuah pemerintahan baru yang berkomitmen untuk “pembangunan industry nasional”.
4. Menggalang kerjasama dengan kalangan militer dan purnawirawan militer, dengan menyakinkan mereka mengenai bahaya liberalisme dan melemahnya kedaulatan bangsa dihadapan imperialisme AS dan sekutunya.

Melalui front politik ini, sebuah oposisi social terhadap rejim neoliberal sedang dibangun.

Agitasi Dan Propoganda

Di lapangan agitasi dan propaganda, perlu menggunakan teknik yang akrab di telinga rakyat,seperti aksi ratusan ibu-ibu berkeliling kampung sambil membawa peralatan masak, membagi selebaran, dan berdiskusi menurut bahasa mereka.

Selain itu, model menggalang “tanda tangan” untuk menarik dukungan rakyat terhadap proposal politik kita, seperti proposal penolakan privatisasi rumah sakit, universitas, dan sebagainya, dengan metode “door to door”. Ini pernah digunakan Frente Amplio (Front lebar) di Uruguay, ketika mereka mengumpulkan tanda tangan 700.000 orang untuk menentang privatisasi perusahaan minyak Negara.

Disamping itu, untuk menghadapi penghancuran karakter dan fikiran rakyat oleh neoliberalisme, maka perlu menghidupkan kembali tokoh-tokoh pergerakan anti kolonial Indonesia dan pokok-pokok fikirannya, seperti Bung Karno (nasionalis), HOS Tjokroaminoto (islam progressif), Ki hajar dewantara (tokoh pendidikan), dan sebagainya.

Kita harus mengeksploitasi isu nasionalisme dalam segala aspek, tentunya dengan berkarakterkan anti imperialisme, demokratis, dan kerakyatan.

Lebih jauh lagi, kita sudah harus mengorganisasikan metode training dan pendidikan yang lebih regular di berbagai kesempatan. Selain mengasah kemampuan teori massa untuk mengenali keadaan, membaca situasi nasional, dan bagaimana bertindak, juga untuk mencetak mereka menjadi propogandis dengan bahasa sendiri.***





read more...