>

ShoutMix chat widget

Guestbook Rolling Widget

Sejarah Singkat

Sejak jatuhnya suharto, beberapa komite aksi menyadari kebutuhan sebuahorganisasi perjuangan yang bergerak secara nasional menyatukan perlawanan mahasiswa bersama rakyat secara sistematis dan terprogram. Komite-komite aksi tersebut, terdiri dari 11 buah termasuk dari Timor Leste, kemudian mendirikan Front Nasional untuk Reformasi Total (FNRT) di pertengahan Mei 1998. Namun usia Front tidaklah panjang. Dii pertengahan 1998 FNRT bubar ditengah Kelesuan dan kebimbangan gerakan, meski komite-komite yang bergabung didalamnya mencoba membentuk lagi sebuah organisasi nasional bernama Alansi Demokratik (ALDEM) pada Agustus 1998. Mereka juga telah berhasil menerbitkan sebuah majalah “ALDEM” satu kali dan menggalang sebuah aksi nasional pada tanggal 14 September 1998 dengan isu Cabut Dwi Fungsi ABRI. Namun nasibnya tak jauh berbeda dengan FNRT, tenggelam di tengah hiruk pikuk gerakan menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.Upaya berikutnya adalah pembentukan Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) pada pertengahan Februari 1999. Buntunya RMNI (Rembug Mahasiswa Nasional Indonesia) II di Surabaya dalam persoalan pengambilan momentum Pemilu Juni 1999, memaksa Fondasi untuk mengundang berbagai komite aksi untuk hadir dalam Konggres Mahasiswa di Bogor pada 9-12 Juli 1999. Dari 20 komite aksi yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, 19 diantaranya sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi nasional demi terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional. Organisasi tersebut bernama Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi disingkat LMND. Kongres I tersebut juga menyatakan bahwa Perjuangan LMND adalah bagian dari Perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka menghancurkan sistem yang anti demokrasi dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Tujuan itu juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut demokrasi kerakyatan, yang secara teori dan praktek berpihak kepada mayoritas raakyat, yaitu kaum buruh ,tani dan kaum miskin kota. Hingga sekarang pasca Kongres ke IV LMND telah berdiri di 104 kota di Indonesia.

Senin, 16 November 2009

TANTANGAN DAN PERJUANGAN KADER-KADER LIGA KEDEPAN

Oleh: Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi.

Model neoliberal yang dipraktekkan di Indonesia, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, telah menghadirkan sebuah gambaran sangat memprihatinkan; kemiskinan, pengangguran, kerusakan ekologi, diskriminasi social, dan sebagainya.

Dalam beberapa kesempatan, kegagalan ini menimbulkan penolakan dari berbagai sektor dan lapisan social secara intensif. Penolakan ini terekspresikan melalui berbagai bentuk perlawanan dan perjuangan yang berbeda-beda, dengan intensitas dan skala yang terus meningkat.

Hanya saja, memang, berbagai ekspresi perlawanan ini belum punya kapasitas untuk merobohkan kekuasaan neoliberal, apalagi menciptakan sebuah tawaran alternatif. Intensitas perjuangan dari berbagai sektor social ini, meskipun beberapa kali berhasil membendung pengaruh neoliberal, tetapi gagal dalam menghentikan rejim-rejim neoliberal yang silih berganti.

Inilah persoalan pokoknya; di satu sisi, ideology neoliberal sedang mengalami krisis legitimasi, dan rejim-rejim yang menganutnya pun turut merasakan krisis konsensus dari massa luas—tercerminkan oleh peningkatan persentase golput. Disisi lain, kelompok penentang neoliberal belum cukup terpercaya untuk membentangkan alternatif terhadap neoliberalisme.

A. Periode Ultra Konservatif

Dalam periode 1980-1990-an, atau era keemasan neoliberal, pembicaraan mengenai siklus anti imperialisme sudah berakhir, dan kekuatan-kekuatan penyangga gerakan anti imperialisme berjatuhan seiring dengan jatuhnya Sovyet dan Eropa Timur.

Dalam periode tersebut, kaum kiri atau progressif benar-benar tergusur dari panggung politik, dan dipaksa melakukan refleksi besar-besaran. Mungkin, itu yang disebut oleh Perry Anderson, dari New Left Review, sebagai periode kekosongan alternative terhadap tatanan yang berkuasa, semenjak mereka menerapkan reformasi neoliberal. Atau, seperti dikatakan Charles-Andre Udry secara definitive, bahwa gerakan buruh internasional sedang menghilang.

Saya bersetuju dengan seorang pemimpin sosialis Chile, Clodomiro Almeyda, ketika mengatakan bahwa kaum kiri jelas mengalami krisis hari ini, bukan hanya ketergantungan pandangan dan kegagalan mereka menciptakan program dan aksi, tetapi juga kelemahan mereka secara organic, hubungan mereka dengan masyarakat sipil, identifikasi mereka terhadap peran actual dan bagaimana menyelesaikannya.

Dalam konteks ini, perdebatan mengenai strategi politik menjadi sangat mengemuka, yang dalam pandangan Ellner, dibagi menjadi tiga pendekatan besar; aliansi lebar yang moderat, strategi lebar anti neoliberal yang konsisten, dan strategi anti imperialis.

Menurut saya, ada beberapa hal yang patut dicermati; pertama, periode ini bukan hanya menandai kegagalan soviet dan eropa timur, dan banyaknya orang yang mempertanyakan kembali sosialisme abad 20, tetapi juga keberhasilan kapitalis mengadaptasi situasi baru melalui pemanfaatan teknologi baru dan berupaya menutupi setiap krisisnya.

Kedua, neoliberalisme bukan saja memukul sektor luas melalui penghisapan ekonomi, perampasan sumber daya, tetapi juga melakukan penghancuran besar-besaran terhadap karakter dan kebudayaan. Melalui aparatusnya, neolib berhasil mengatomisasi masyarakat menjadi individu ekonomis di bawah pasar, dalam pandangan Sosiologis Kuba Antonio Juan Blanco, menghasilkan manusia sampah yang sulit didaur ulang secara social dan keseluruhan bangsa-bangsa yang kehilangan orientasi (frustasi).

Dalam sepuluh tahun terakhir, setelah berakhirnya era kediktatoran militer orde baru, terjadi proses penerapan demokrasi liberal yang sangat intensif. Dalam beberapa aspek, medan politik pada era orde bary sangat berbeda dengan ketika demokrasi liberal mulai diterapkan, terutama cara mereka menundukkan rakyat luas.

Menurut saya, setiap kekuasaan dari kelas yang berkuasa, selalu membutuhkan dukungan dari mayoritas kelas, dalam bentuk consensus atau legitimasi. Sebab setia administratur atau pemerintahan hanya dapat berjalan, bila mendapatkan consensus atau legitimasi. Dalam prakteknya, baik era kediktatoran militer maupun demokrasi liberal, proses pembentukan legitimasi ini dilakukan melalui cara yang berbeda.

Pada era kediktatoran militer, penggunaan apparatus kekerasan dan koersif sangat menonjol, dan tidak menciptakan sedikitpun ruang bagi oposisi. Sementara itu pada era demokrasi liberal, proses ini berlangsung melalui pengutamaan aturan main yang seolah-olah menarik keterlibatan semua pihak untuk berkompetisi, dan ditopang oleh sebanyak mungkin apparatus ideology dan manufacturing consent, khususnya media massa.

Dalam lapangan praksis, perbedaaan ini juga mempengaruhi bentuk dan cara rejim berkuasa untuk menjalankan penindasannya. Hal ini, tentu saja, membutuhkan respon dan bentuk penggunaan strategi-taktik yang berbeda pula oleh kaum pergerakan. Sayangnya, persoalan ini kurang mendapatkan perhatian, dan malah seringkali mendapatkan pengabaian.

Berikut ini, saya hendak menuliskan beberapa tantangan khusus dalam situasi sekarang ini;

1. Krisis politisi dan institusi politik;

Ada pertumbuhan apatisme terhadap kehidupan politik, termasuk partai dan politisi. Ini tercermin dari kelesuan partisipasi rakyat mendatangi kotak-kotak suara pada setiap pemilihan, baik pemilu lokal maupun nasional. Selain itu, masyarakat terkesan tidak mau ambil pusing dengan perdebatan-perdebatan politik di parlemen.

Mungkin, bagi kaum kanan, mereka tidak mempedulikan krisis politik dan politisi ini, sebab mereka dapat berkuasa tanpa menggunakan partai politik, seperti pengalaman para teknokrat dan kediktatoran militer. Akan tetapi, bagi kaum kiri, keberadaan partai menjadi prasyarat utama untuk melakukan penentangan terhadap sistim ini.

Kita sedang diperintah oleh, mengutip Franz Hinkelammert, sebuah demokrasi agressiif, dengan kehadiran keterwakilan tanpa consensus.

Dalam setiap pemilu, rakyat selalu mendapatkan janji-janji perubahan dan perbaikan kesejahteraan. Pada kenyataanya, pemerintahan dan anggota parlemen yang terpilih, sangat jarang meletakkan keberpihakannya kepada mayoritas rakyat yang terpinggirkan. Para politisi itu segera melupakan janji-janjinya, dan memilih berkolaborasi dengan kepentingan pemodal.

Disamping itu, ada upaya tersistematisasi untuk mendepolitisasi dan mendeideologisasi rakyat luas, dan menawarkan konsumtifisme, sinisme, dan individualisme sebagai jalan keluarnya. Media berkali-kali membesar-besarkan pemberitaan yang menyudutkan parlemen dan perilaku politisi.

Dalam banyak kejadian, keputusan-keputusan penting dan mengusai hajat hidup rakyat banyak tidak diputuskan di lembaga parlemen, melainkan lembaga-lembaga yang tidak mempunyai mandat dan sulit dikontrol, seperti bank dunia, IMF, WTO, otoritas keuangan, bank sentral, korporasi raksasa dan sejenisnya.

2. Peran Media Massa

Dalam era demokrasi liberal ini, yang memanfaatkan aparat koersif dan apparatus ideology, keberadaan media memainkan peranan yang sangat penting. Sekarang ini, media telah mempengaruhi sebagian besar massa luas, dan sanggup mengarahkan persepsi mereka untuk menuruti keinginan kelompok di belakang media.

Televisi, misalnya, yang sudah menjangkau 80% penduduk Indonesia, memainkan peranan besar dalam mengendalikan persepsi masyarakat, mengalihkan isu, dan memasukkan unsure-unsur propaganda pemerintah kepada pemirsa. Apalagi pada tahun 2010 ini, bank dunia akan memprakarsai perluasan teknologi investasi telekomunikasi ini hingga pedalaman. Mirip dengan gebrakan Deandels ketika mendorong modal sampai ke pedalaman.

Dengan kepelimikan media yang semakin terkonsentrasi pada segelintir tangan, terutama klik elit di sekitar kekuasaan, media akan berjalan bukan saja untuk mensukseskan akumulasi modal, mendorong minat konsumsi, tetapi juga, yang terpenting, sebagai bala tentara ideologis kelas berkuasa untuk menindas kesadaran massa rakyat.

Dalam kancah pertempuran ideologis ini, terutama untuk menghadapi pembelokan opini dan manipulasi kesadaran oleh media mainstream, dalam bahasa Chomsky, rakyat membutuhkan unit pertahanan intelektual untuk melindungi dirinya dari effek media mainstream.

Selain itu, perkembangan sistim informasi juga turut menjadi bahan bakar percepatan perkembangan media. Sekarang, misalnya, media informasi bukan saja melalui kotak bernama Televisi dan radio, ataupun surat kabar, tetapi sudah dapat diakses secara online dan melalui ponsel masing-masing. Sebagai contoh, perkembangan facebook sudah menjangkau hingga pedalaman, dan menciptakan banyak efek negatif bagi kaum muda.

Menurut saya, menghadapi perang ideologis ini kita tidak bisa sekedar bersandar pada metode agitasi dan propaganda terbatas, seperti koran, bulletin, dan internet, tapi harus mempergunakan seluruh ruang propaganda untuk mengimbangi pengaruh media borjuis; kita sudah harus memperhitungkan model propaganda sederhana, murah, dan massal, serta mempergunakan bahasa “rakyat”. Disamping itu, kita sudah harus membuat sebuah media tandingan, mungkin menyerupai radio komunitas dan sejenisnya, untuk mengimbangi propaganda media itu dan melakukan perlawanan tanpa henti terhadap praktik manipulatif media borjuis.

3. Konsumerisme

Konsumerisme harus dipahami bukan hanya sebagai praktik ekonomi, yaitu kegiatan mengkonsumsi barang produsen, tetapi lebih jauh harus dipahami sebagai bentuk kebudayaan klas kapitalis. Dalam bangunan suprastruktur, dia mewakili kebutuhan sistim ini untuk terus mendorong kelangsungan akumulasi profit.

Dengan konsumerisme, orang dipaksa untuk tetap hidup dan berkonsumsi bukan berdasarkan pendapatannya (income), melainkan melalui utang (debt). Dengan begitu, orang-orang akan mengejar kebutuhan secara berlebihan, dan terus motivasi untuk menambah kemampuan membelinya dengan pinjaman (kredit). Namun, seperti dikatakan Thomas Moulian, sistim ini diciptakan sebagai mekanisme domestifikasi.

Kegiatan berutang secara massif bukan saja diperuntukkan bagi pemeliharaan atau memperluas pasar, tetapi juga beroperasi sebagai alat integrasi social. Lebih jauh, hedonisme menjadi agama dan kebudayaan baru dari masyarakat; setiap orang dipaksa untuk menjamin dirinya tetap bekerja dan mempunyai pendapatan, sehingga dapat terus menerus membeli barang-barang kebanggaannya; mobil terbaru, pakaian trend terbaru, rumah, dsb. Akhirnya, mereka rela berkorban untuk kebudayaan baru dan mimpi sesaat ini, dan melupakan cita-cita kolektif dan tujuan jangka panjang.

Terkait hal ini, Andi Mallarangeng pernah mengatakan, bahwa anak muda sekarang lebih pusing memikirkan blackberry atau ponsel model terbaru, ketimbang memikirkan pancasila ataupun kemerdekaan.

Sekarang ini, kita berhadapan dengan masyarakat yang sangat pragmatis, dan rela mengorbankan cita-cita jangka panjangnya hanya untuk mendapatkan makan sehari atau sebulan. Seorang sopir taksi misalnya, ketika saya menanyakan soal pentingnya pemilu, memilih menjalankan pekerjaannya untuk memberi makan keluarganya, ketimbang menggunakan lima menit waktunya untuk menentukan masa depan bangsa ini.

4. Fragmentasi Sosial

Semenjak neoliberalisme melakukan penetrasi lebih jauh dalam kehidupan sosial masyarakat, maka masyarakat pun mulai terpecah belah dalam fragmen-fragmen kecil. Ini adalah strategi fragmentasi atau disorientasi social. Metode ini dimaksudkan untuk memecah belah masyarakat secara social menjadi semacam unit-unit yang terpisah satu sama lain, sehingga mereka tidak mungkin menjadi satu kekuatan mayoritas yang bersatu.

Di tingkatan massa, proses pemecahan ini dilakukan terhadap unit kecil yang terpisah, terutama pengelompokan berdasarkan hobbie atau kegemaran. Di kalangan pekerja, proses pemecahan ini dicapai melalui penerapan kompetisi di tempat kerja, terutama akibat penerapan kebijakan pasar tenaga kerja yang liberal.

Di kalangan gerakan social, proses fragmentasi menjadi penyakit akut dan berlangsung semenjak lama, terutama dalam persoalan spesifikasi issue dan metode kampanye. Proses ini semakin meningkat karena dibantu oleh LSM/NGO, yang mengarahkan masyarakat atau sektor social untuk berkonsentrasi pada isu dan tuntutan yang spesifik.

B. Situasi Di Indonesia

1. Dua Gelombang: Melanjutkan Neoliberalisme dan Mengakhiri Neoliberalisme

Sekarang ini, ada dua kekuatan besar yang sedang berhadap-hadapan di Indonesia, yakni kekuatan yang hendak melanjutkan neoliberalisme, dan kekuatan politik yang mau mengakhiri proyek neoliberalisme sembari menawarkan alternatif.

Kekuatan yang menghendaki kelanjutan neoliberal adalah seluruh spectrum politik yang berdiri di belakang koalisi SBY-Budiono. Di dalamnya terdapat para teknokrat hasil didikan IMF dan bank dunia, lapisan kapitalis nasional yang bersekutu dengan modal asing, pimpinan media swasta, elit-elit politik oportunis (Parpol koalisi pendukung SBY), dan sejumlah kaum demokrat liberal—sebutan bagi aktifis dan aktifs LSM pro neoliberal.

Di samping itu, kaum intelektual dan kelas menengah sering memperlihatkan dukungan kepada kubu neoliberal ini, hanya karena klaim pemerintahan bersih dan professional.

Sementara kelompok yang menghendaki neoliberalisme segera berakhir berasal dari beragam kelompok social, mulai dari spectrum reaksioner (kelompok fundamentalis), kapitalis nasional, nasionalis progressif, dan kaum sosialis.

Disamping itu, sejumlah faksi kapitalis peninggalan dinasti orde baru, juga memainkan peran dalam perlawanan terhadap neoliberalisme ini, khususnya untuk menghadapi faksi kapitalis nasional yang bersekutu dengan asing (Aburisal Bakrie, cs).

Di spektrum reaksioner, penentangan dilakukan oleh kelompok fundamentalis islam, yang menggunakan isu-isu anti neoliberalis, untuk menantang kekuasaan politik kafir, Amerika Serikat dan dunia barat.

Di kalangan kapitalis nasional, arus anti neoliberalisme menjadi sentimen umum di kalangan pengusaha nasional, terutama mereka yang kepentingan industrialnya berhadapan secara antagonis dengan pemodal asing, atau akibat tekanan liberalisasi. Seorang pimpinan KADIN, Bambang Susetyo, sering menulis kritikan pedas terhadap kebijakan neoliberal SBY, sembari menawarkan sebuah bentuk nasionalisme ekonomi. Sofyan Wanandi pun, dalam beberapa kesempatan, sering mewakili kecemasan APINDO terhadap dampak liberalisasi ekonomi.

Kalangan nasionalis progressif, baik yang berbendera marhaenisme ataupun tidak, sekarang ini terpecah belah; antara mengikuti gerbong PDIP yang ingin merapat ke koalisi SBY-Budiono atau tetap berdiri sebagai oposan. Sementara nasionalis gadungan, terutama hasil fragmentasi PDIP seperti PDP, PNBK, dan PNI Marhaenisme, sudah merapat lebih dulu merapat ke kubu neoliberal.

Di kalangan sosialis sendiri, yang merupakan fragmen paling kecil dari gerakan oposisi, masih terseret pada atomisasi yang menjadi-jadi, dan terbawa alur model “old social movement”. Mereka banyak disibukkan oleh agenda politik masing-masing, tanpa ada sebuah simpul yang dapat menyatukan agenda politik mereka.

C. Korelasi Perimbangan Kekuatan

Setelah radikalisme yang menyertai penumbangan orde baru, pada tahun 1998, situasi di dalam negeri nyaris tidak memperlihatkan perimbangan kekuatan yang baru; kelas berkuasa tetap mendominasi pengaruhnya terhadap mayoritas rakyat kita.

1. Perimbangan Kekuatan di dalam negeri

Dalam membahas korelasi kekuatan di dalam negeri, perlu untuk membahas tiga sektor yang memainkan peranan penting dalam pertempuran politik; kelas kapitalis nasional, massa rakyat tertindas (kelas terhisap), dan imperialisme global.

Selama tahun 1990-an, kapitalisme secara global berhasil melancarkan perang offensive terhadap tenaga kerja. Pada periode awal serangan ini, kelas kapitalis nasional memainkan peran sebagai sekutu yunior dari kapitalis internasional, terutama ketika membangun aliansi bersama untuk menekan kelas pekerja. Namun kemudian, dalam proses ini selanjutnya, sebagian kelas kapitalis nasional menderita akibat konsekuensi liberalisasi dan tekanan kapitalis asing. Ketika perdanganan bebas diberlakukan, mereka kehilangan posisi kompetitifnya; dan ketika terjadi proses penghilangan peran Negara (de-nasionalisasi), mereka semakin menderita sebab kehilangan benteng pelindungnya, khususnya ketika berhadapan dengan competitor dari luar.

Gejala de-industrialisasi atau kehancuran industri nasional bukan saja merugikan kelas pekerja, tetapi merugikan seluruh sektor di dalam negeri, termasuk kapitalis nasional. Terjadi konflik intensif antara agenda perdagangan bebas dengan kapitalis nasional yang bergantung kepada pasar internal atau di dalam negeri.

Disamping itu, perampokan seluruh sumber daya alam kita oleh pihak asing telah menciptakan kelangkaan bahan bakar, pangan, dan sarana produksi, sehingga memicu perlawanan rakyat di berbagai tempat. Hanya saja, memang, rakyat menjalankan sendiri perlawanannya, dan biasanya tidak dipimpin oleh gerakan sosial.

Di Indonesia, model gerakan sosial seperti di amerika latin tidaklah muncul, sebab gerakan sosial di Indonesia dipimpin oleh NGO yang memperoleh dananya dari USAID dan sejenisnya. Sementara di amerika latin, gerakan sosial dipimpin oleh kalangan progressif, seperti aktifis, gereja progressif, nasionalis, dan orang-orang kiri independen. NGO dan gerakan sosial di Indonesia lebih berperan sebagai agen pengkooptasi, sebab mereka menentang mobilisasi politik dan segala bentuk partisipasi politik (lihat penentangan mereka terhadap agenda pendirian Papernas dan politik kerjasama antara papernas dan PBR).

Secara umum, perlawanan berbagai sektor rakyat di Indonesia sangat mudah dipatahkan, mungkin karena alat represi ideologis kelas berkuasa masih sangat kuat, sehingga sanggup mengkanalisasi dan menjinakkan gerakan spontan dan terlokalisir.

Pengaruh krisis financial, yang juga mempengaruhi kongjuntur politik di negeri-negeri imperialis, seperti kasus Jepan dan AS (dua pemodal terbesar di Indonesia), tidak begitu mempengaruhi proyek neoliberal di Indonesia. Kelihatannya, dengan melihat gelagat pemerintahan SBY di akhir jabatannya, kelihatannya kendaraan neoliberal di Indonesia akan melepas rem-nya, sehingga akan berjalan kencang dan tidak terkendali.

Meskipun kendali pemerintahan AS kelihatan berkurang di beberapa belahan dunia, seperti di amerika, tetapi kelihatannya geopolitik modal sedang mencari tempat yang lebih tenteram di Asia timur, Asia tenggara, Timur tengah, dan afrika.

2. Perimbangan Kekuatan Internasional

Selama beberapa dekade, terutama sebelum dan setelah perang dunia ke II, AS menjadi salah satu kekuatan superpower di dunia; memiliki kekuatan politik dan militer paling disegani selama beberapa dekade, disamping merupakan Negara terkaya dan ekonomi nasional paling produktif di dunia.

Akan tetapi, bagi Peter Drucker, AS sekarang ini bukan lagi sebagai kekuatan ekonomi dominan. Menurutnya, ekonomi dunia sekarang ini lebih pluralis, dengan sejumlah blok-blok ekonomi yang substansial. Sekarang ini, misalnya, terdapat blok ekonomi dan politik seperti Uni Eropa, Brazil- Russia-India-China (BRIC), ALBA, dan sejumlah bangsa-bangsa yang kini menjalankan proteksionisme.

Namun, bagi Leo Panitch, krisis financial dan perkembangan dunia sekarang ini belumlah menggeser posisi dominan dan keistimewaan AS. Menurutnya, dampak krisis financial paling banter hanya memerosotkan sedikit posisi ekonomi AS, tetapi belum menghapusa posisi dominannya dalam ekonomi global.

Leo Panitch mencontohkan, Federal Reserve (Bank Sentral AS) kini masih berfungsi seolah-olah menjadi bank sentral dunia. Disamping itu, penyokong material kekuatan hegemonic ekonomi global masih bersandar di New York, markas besar perusahaan financial raksasa dunia. AS juga masih mengambil keuntungan dan supremasinya dari penggunaan dollar sebagai alat tukar perekonomian global.

Meskipun begitu, ada beberapa peristiwa yang mempengaruhi perimbangan kekuatan AS dalam geopolitik dunia, diantaranya kegagalan invasi ke Irak dan Afghanistan, kekalahan electoral partai republic, dan menyusutnya sekutu eropanya. Disamping itu, AS terlihat tidak berdaya menghadapi tantangan sejumlah pemimpin anti imperialis akhir-akhir ini, terutama Hugo Chaves, Ahmadinejad, dan Khadafi.

D. Faktor-faktor Menguntunkan

1. Krisis Sistim neoliberalisme

Neoliberalisme sedang mengalami suatu, mengutip Emir Sader, kebangkrutan total, berupa kegagalan proyek ekonomi pasar bebas, krisis ekologi, dan dan over produksi. Di tingkat global, kapitalisme neoliberal sedang diguyur puing-puing ambruknya raksasa-raksasa financial.

Di Indonesia, krisis sistim neoliberal sudah berlangsung semenjak pemerintah mengadopsi kebijakan penyesuaian structural (SAP), pada tahun 1999, yang menyebabkan lebih dari separuh penduduknya terpuruk dalam kemiskinan.

Selain itu, neoliberalisme mengalami krisis ideology. Untuk mempertahankan stabilitas sebuah sistim, maka diperlukan reproduksi kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya untuk menopang keberadaan sistim ini. Sekarang ini, setelah satu dekade penerapan proyek neoliberal, muncul krisis legitimasi terhadap seperti ini.

Di Indonesia, semakin banyak pihak yang menyadari keterbatasan dari sistim neoliberal ini, dan ketidakmampuannya untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat kita. Manifestasi penolakan ini sangat beraneka ragam, mulai dari bentuk protes biasa hingga bentuk perlawanan massa.

Dalam pemilu presiden 2009, misalnya, ideology neoliberal dicercah sebagai ideology yang jahat, punya tujuan busuk, dan memiskinkan rakyat, sehingga tidak satupun kandidat presiden dan wapresnya yang mau mengaku sebagai pengusung neoliberal. Artinya, di mata pengusungnya pun, neoliberal kini dianggap sebagai hal yang busuk sehingga perlu disembunyikan.

2. Demokrasi Liberal sedang Terdiskreditkan

Dalam setiap pemilihan, angka orang yang berpartisipasi dalam memberikan suara semakin menurun, terutama di kalangan orang muda. Dalam pilkada, angka golput mencapai 40-60%, demikian pula dengan pemilu nasional, yang angkanya juga berkisar 40%.

Dalam banyak kasus, kegagalan demokrasi liberal bukan hanya tercermin dari ketidakmampuan mereka melahirkan perubahan yang signifikan, tetapi juga penyelenggaraan pemilu curang yang terjadi berulang kali.

E. Merubah Keadaan

Bagaimana merubah keadaan ini? Ini merupakan pertanyaan utama sekarang ini. Menjawab pertanyaan ini tidak bisa sekedar berteriak lantang; Revolusi! Demikian pula dengan mencoba mencomot sana sini atau tipsani (kutip sana sini) teori atau pengalaman revolusi abad 20, khususnya Rusia dan Tiongkok, tentu juga bukan jawaban yang tepat.

Pertama, mungkin, persoalan yang perlu dijawab oleh kaum kiri adalah bagaimana mengubah pandangan masyarakat yang apolitis, skeptis dengan partai dan politis, dan sangat pragmatis ini.

Untuk itu, jawabannya adalah mempolitisasi mereka. Disini, konsep mempolitisasi bukan sekedar menganjurkan atau menyerukan rakyat untuk terlibat gerakan politik atau menggabungkan diri dalam organisasi politik kiri, tetapi harus diarahkan kepada tindakan nyata untuk menarik partisipasi politik mereka.

Pertama, Harus ada usaha untuk menunjukkan “bukti” kepada rakyat luas bahwa kaum kiri memang sanggup menjadi administratur (pemerintah) yang baik, bersih, dan bertanggung jawab. Untuk menempuh ini, kita harus mempunyai pengalaman memerintah, baik di pemerintahan local maupun nasional, dimana kita menampilkan politik yang berbeda di sana.

Ini sangat menarik, misalnya PKS berupaya menarik dukungan rakyat untuk menempatkan kadernya di pemerintahan local dan parlemen, hanya dengan menonjolkan politik bersih dan santun. Meskipun kini PKS meredup karena pilihan sikapnya yang menghamba pada neoliberal, tetapi mereka berhasil membuktikan bahwa “orang-orang mereka” sedikit berbeda dengan politisi dari partai lain.

Kedua, mendorong partisipasi luas masyarakat dengan berbagai cara; menunggangi program social neoliberal (BLT, PNPM, BOS, dsb) sebagai pintu masuk untuk mengorganisir mereka, ataupun dengan metode anggaran partisipatoris.

Ketiga, memenangkan perebutan institusi-instutusi tingkat RT/RW, sebagai alat mengorganisasikan, melatih, dan mendorong partisipasi kerakyatan. Disamping itu, ruang-ruang partisipasi lain, seperti lembaga di tingkat desa, musrembang, dan sebagainya, juga bisa menjadi kendaraan untuk menguji dan melatih kemampuan massa dalam berjuang.

Di level yang lain, partai dan ormas-ormasnya juga harus aktif membangun dan memenangkan ruang-ruang massa, seperti komunitas pedesaan, memenangkan pengurusan BEM universitas/kampus, koperasi, warung kolektif, hingga stasiun radio alternative.

Strategi Memanjat Kekuasaan

Setelah berakhirnya kediktatoran, banyak kaum kiri yang tidak sanggup merespon dengan baik perkembangan situasi yang baru, seperti pengalaman CPP di Philipina, PRD di Indonesia, dan sebagainya. Dalam situasi yang baru, beserta metode dan cara penindasannya yang baru, kaum kiri selalu gagap dan akhirnya kehilangan tempat dalam proses transformasi yang terjadi.

Kaum kiri terbelah dua dalam menghadapi persoalan ini; kelompok pertama focus untuk memenangkan ruang di dalam struktur demokrasi liberal, sementara kelompok yang kedua mempromosikan organ tandingan untuk kekuasaan rakyat.

Untuk kelompok pertama, strateginya adalah memanjat kekuasaan dari pemerintahan local ke pemerintahan provinsi, baru kemudian menjangkau level nasional. Ini mengacu kepada pengalaman administrasi komunitas di partai buruh (PT) Brazil dan pemerintahan kotamadya di Front Luas (Frente Amplio) di Uruguay.

Tidak dapat disangkal lagi, model “sosialisme kotamadya” ini berhasil mengembalikan kepercayaan diri kaum kiri untuk turut bertarung dalam politik yang lebih luas, disamping keberhasilannya mengorganisasikan, meradikalisasi, dan menginspirasi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan politik,

Dengan penganggaran partisipatif (AP), PT berhasil menawarkan bentuk demokrasi dan ekonomi yang berbeda dengan neoliberal. Untuk pertama kalinya dalam program ini, ada distribusi anggaran yang menyasar kepentingan orang miskin, dan untuk pertama kalinya pula rakyat terlibat kuat dalam mendiskusikan kebutuhannya. PT berhasil meradikalisasi kesadaran rakyat, serta mampu menunjukkan keterbatasan program social neoliberal.

Pengalaman PT dan Frente Amplio (FA) dalam mengelola pemerintahan lokal, dengan segala perbedaan dan kekurangannya, turut mengakumulasi kekuatan dan memupuk suara mereka hingga kemenangan electoral di tingkat nasional.

Kelompok kedua adalah mengutamakan penentangan terhadap kerangka institusi formal demokrasi borjuis dengan mengedepankan mobilisasi social, dan menolak berpartisipasi dalam ajang electoral.

Menurut Marta Harnecker, perjuangan mengelola pemerintahan local harus dianggap sebagai suatu ruang yang juga dapat digunakan untuk menciptakan kondisi-kondisi budaya dan politik yang dibutuhkan bila kita hendak melangkah maju menuju pengorganisasian masyarakat yang mandiri.

Dalam mengukur perimbangan kekuatan politik, mengutip Marxist Italia, Antonio Gramsci, mengelola pemerintahan local dapat diletakkan sebagai ruang mengakumulasi kekuatan. Dalam kasus PT dan Frente Amplio, keberhasilan mereka dalam mengelola pemerintahan di sejumlah kotamadya menjadi basis yang menentukan kemenangan mereka di pemilu nasional.

Memanjat Kekuasaan: Memenangkan Pemerintahan Lokal

Dalam sepuluh tahun terakhir, penetrasi kapitalisme global bukan hanya menjangkau Negara atau sebuah wilayah ekonomi, tetapi sudah menjangkau lapisan luas masyarakat hingga unit paling kecil. Penetrasi itu bukan saja berbentuk eksploitasi ekonomi, tetapi juga penghancuran segala syarat-syarat bagi transformasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Saya berkesimpulan, sebuah transformasi sosial tidak bisa ditunggu atau ditetapkan berdasarkan momentum-momentum yang berubah-ubah, akan tetapi harus diciptakan atau dibangun. Buah dari pohon tidaklah harus ditunggu hingga jatuh, tetapi harus segera dipanjat. Inilah esensi dari strategi memanjat kekuasan.

Disamping itu, ada kecenderungan di mata rakyat untuk memandang sama setiap partai politik atau politisi; sama-sama suka berjanji dan berkhianat setelah pemilihan. Ini juga mempengaruhi pendapat pemilih terhadap caleg-caleg aktifis yang diajukan dalam pemilu kemarin, dimana mereka belum melihat perbedaan signifikan antara aktifis dengan caleg lain.

Menurut saya, ada beberapa target politik yang hendak dicapai dari pemerintahan lokal seperti ini; pertama, menjadi lapangan uji soal bagaimana kita memerintah atau menjalankan sebuah kekuasaan untuk rakyat banyak. Selama ini, kita selalu dipandang sebagai tukang kritik tanpa mengajukan solusi praktis.

Kedua, pemerintahan lokal dapat menjadi arena bagi kaum kiri untuk mendemonstrasikan kemampuannya guna membuat alternative diluar kapitaalisme, seperti pengalaman partai buruh Brazil dan Frente Amplio. Bentuk keberhasilan sekecil apapun, seperti pengalaman Erundina Zousa yang hanya berhasil mengelola sistim transfortasi modern di Kota Sao Paulo, atau pengalaman pendidikan gratis di Jembrana, Bali, akan menjadi point penting untuk menaikkan kredibilitas politik dan partai di tingkat nasional.

Ketiga, pemerintahan lokal dapat digunakan untuk mempolitisasi, mengorganisasikan, dan mendorong partisipasi rakyat dalam mempersiapkan syarat-syarat bagi transformasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Ada pengalaman menarik di Brazil, kaum kiri dapat memenangkan pemilu dalam satu putaran, meskipun aksesnya di media diblokade. Sebagai contoh, masyarakat di kotamadya Porto Alegre, ibukota Rio Grande Do Sul, yang telah memilih walikota dari partai buruh (PT) tiga kali. Masyarakat memilih PT karena pengalaman mereka memerintah. Sekitar 130 ribu orang dari 1,3 juta jiwa penduduk di kota itu pernah terlibat dalam penganggaran partisipatif.

Dalam kasus itu, propaganda negatif yang diarahkan media TV dan cetak, yang dikontrol pemilik media dan elit oligarkhi, tidak sanggup mengalahkan praktik demokrasi langsung pemerintahan lokal.

Selama ini, pengalaman intervensi pilkada masih sebatas merebut ruang untuk propaganda dan memenangkan program, belum sampai pada upaya merebut administratur dan kekuasaan politik lokal. Dalam beberapa kasus, kita berhasil mendukung seorang kandidat berdasarkan kesamaan program, tetapi, setelah berkuasa, program itu banyak yang ditinggalkan.

Strategi Politik Nasional : Front Politik Kemandirian Nasional

Berhadapan dengan musuh yang terlampau kuat, tentu saja memerlukan perimbangan kekuatan yang relative sama. Sekarang ini, misalnya, kubu neoliberal memonopoli seluruh struktur politik (parlemen, eksekutif, yudikatif), menghegemoni masyarakat luas melalui media, dan memegang control terhadap seluruh apparatus kekerasan.

Kita membutuhkan sebuah konsep politik sebagai alat pembangunan sosial untuk mengubah korelasi kekuatan saat ini. Disini, kita perlu mentransformasikan gerakan rakyat menjadi sebuah front politik yang menentukan, sehingga mempengaruhi perimbangan kekuatan.

Neoliberalisme akan memiskinkan mayoritas rakyat kita. Lebih jauh, ekses neoliberalisme merugikan banyak sektor sosial; mulai dari sektor pekerja, petani, pegawai rendahan, anggota asosiasi koperasi, produsen kecil di pedesaan dan perkotaan, dan kalangan pengusaha menengah dan kecil. Perlu dicatat pula, bahwa neoliberalisme menyebabkan pertumbuhan sektor informal secara massif. Sekarang ini, menurut catatan OPSI, sektor informal sudah mencapai 70% dari seluruh angkatan kerja.

Selain itu, kita harus menambahkan sektor kapitalis nasional yang, mengutip Marta Harnecker, telah memasuki kontradiksi objektif dengan kapitalis multinasional. Disini, kita mengacu kepada kapitalis nasional yang sangat bergantung pada kredit dari Negara, dan diuntungkan oleh pasar internal bagi produk-produk merek.

Di lapangan politik, penentangan terhadap neoliberal juga dilakukan oleh politisi dari berbagai latar belakang partai politik. Pada umumnya, spectrum politik mereka adalah nasionalis dan faksi-faksi politik yang kurang diuntungkan oleh neoliberalisme.

Politik adalah seni membangun kekuatan sosial kerakyatan untuk menjalankan oposisi terhadap system, pada saat yang sama, harus disadari bahwa kekuatan ini harus dibangun atau diciptakan sendiri oleh kaum kiri. Ini berarti, kita harus bertindak dalam dari waktu ke waktu untuk menciptakan peluang, bukan menunggu waktu. Dan, sanggup untuk memetik atau memilih kapan mengkonsentrasikan energi pada sebuah ruang atau konflik (pertentangan) yang muncul.

Untuk itu, kita harus membangun sebuah front politik patriotik, dengan menciptakan ruang untuk menampung seluruh sektor-sektor dan kekuatan politik diatas ke dalam satu kolom;

1. memaksimalkan pembangunan front politik anti neoliberal dengan menyeret seluruh ormas, serikat, dan organisasi-organisasi yang berhaluan anti neoliberal; baik di tingkat nasional maupun lokal.
2. mengkonsolidasikan para politisi, mantan aktifis, yang tersebar di berbagai partai politik dan bidang profesi, dengan menyodorkan platform anti neoliberalisme dan nasionalisme progressif.
3. memulai mengintensifkan kerjasama dengan asosiasi pengusaha nasional, asosiasi peritel nasional dan pasar tradisional, pemilik UKM, dan sektor-sektor produksi nasional lainnya, untuk menarik mereka dalam front politik. Kita harus mampu menyakinkan kelompok bisnis mengenai pentingnya sebuah pemerintahan baru yang berkomitmen untuk “pembangunan industry nasional”.
4. Menggalang kerjasama dengan kalangan militer dan purnawirawan militer, dengan menyakinkan mereka mengenai bahaya liberalisme dan melemahnya kedaulatan bangsa dihadapan imperialisme AS dan sekutunya.

Melalui front politik ini, sebuah oposisi social terhadap rejim neoliberal sedang dibangun.

Agitasi Dan Propoganda

Di lapangan agitasi dan propaganda, perlu menggunakan teknik yang akrab di telinga rakyat,seperti aksi ratusan ibu-ibu berkeliling kampung sambil membawa peralatan masak, membagi selebaran, dan berdiskusi menurut bahasa mereka.

Selain itu, model menggalang “tanda tangan” untuk menarik dukungan rakyat terhadap proposal politik kita, seperti proposal penolakan privatisasi rumah sakit, universitas, dan sebagainya, dengan metode “door to door”. Ini pernah digunakan Frente Amplio (Front lebar) di Uruguay, ketika mereka mengumpulkan tanda tangan 700.000 orang untuk menentang privatisasi perusahaan minyak Negara.

Disamping itu, untuk menghadapi penghancuran karakter dan fikiran rakyat oleh neoliberalisme, maka perlu menghidupkan kembali tokoh-tokoh pergerakan anti kolonial Indonesia dan pokok-pokok fikirannya, seperti Bung Karno (nasionalis), HOS Tjokroaminoto (islam progressif), Ki hajar dewantara (tokoh pendidikan), dan sebagainya.

Kita harus mengeksploitasi isu nasionalisme dalam segala aspek, tentunya dengan berkarakterkan anti imperialisme, demokratis, dan kerakyatan.

Lebih jauh lagi, kita sudah harus mengorganisasikan metode training dan pendidikan yang lebih regular di berbagai kesempatan. Selain mengasah kemampuan teori massa untuk mengenali keadaan, membaca situasi nasional, dan bagaimana bertindak, juga untuk mencetak mereka menjadi propogandis dengan bahasa sendiri.***






Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

1 komentar: on "TANTANGAN DAN PERJUANGAN KADER-KADER LIGA KEDEPAN"

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

Posting Komentar