>

ShoutMix chat widget

Guestbook Rolling Widget

Sejarah Singkat

Sejak jatuhnya suharto, beberapa komite aksi menyadari kebutuhan sebuahorganisasi perjuangan yang bergerak secara nasional menyatukan perlawanan mahasiswa bersama rakyat secara sistematis dan terprogram. Komite-komite aksi tersebut, terdiri dari 11 buah termasuk dari Timor Leste, kemudian mendirikan Front Nasional untuk Reformasi Total (FNRT) di pertengahan Mei 1998. Namun usia Front tidaklah panjang. Dii pertengahan 1998 FNRT bubar ditengah Kelesuan dan kebimbangan gerakan, meski komite-komite yang bergabung didalamnya mencoba membentuk lagi sebuah organisasi nasional bernama Alansi Demokratik (ALDEM) pada Agustus 1998. Mereka juga telah berhasil menerbitkan sebuah majalah “ALDEM” satu kali dan menggalang sebuah aksi nasional pada tanggal 14 September 1998 dengan isu Cabut Dwi Fungsi ABRI. Namun nasibnya tak jauh berbeda dengan FNRT, tenggelam di tengah hiruk pikuk gerakan menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.Upaya berikutnya adalah pembentukan Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) pada pertengahan Februari 1999. Buntunya RMNI (Rembug Mahasiswa Nasional Indonesia) II di Surabaya dalam persoalan pengambilan momentum Pemilu Juni 1999, memaksa Fondasi untuk mengundang berbagai komite aksi untuk hadir dalam Konggres Mahasiswa di Bogor pada 9-12 Juli 1999. Dari 20 komite aksi yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, 19 diantaranya sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi nasional demi terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional. Organisasi tersebut bernama Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi disingkat LMND. Kongres I tersebut juga menyatakan bahwa Perjuangan LMND adalah bagian dari Perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka menghancurkan sistem yang anti demokrasi dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Tujuan itu juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut demokrasi kerakyatan, yang secara teori dan praktek berpihak kepada mayoritas raakyat, yaitu kaum buruh ,tani dan kaum miskin kota. Hingga sekarang pasca Kongres ke IV LMND telah berdiri di 104 kota di Indonesia.

Rabu, 06 Januari 2010

Catatan Akhir Tahun 2009 : Pemerintahan Baru Diambang Kegagalan Total; Program 100 Hari Disandera Para KoruptorBagikan

Salam Pembebasan,

Tahun 2008, puncak dari sebuah krisis yang mengguncang sistem neoliberal, kandidat pro-neoliberal berhasil memenangkan pemilu di Indonesia. Kemenangan itu mencengangkan dan menciptakan paradoks, sebab mereka memperoleh kemenangan politis di tengah kejatuhan popularitas dan berbagai kegagalan di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Dengan menghalalkan segala cara, rejim neoliberal ini memastikan kemenangan melalui skenario pemilu curang dan sangat tidak demokratis. Menurut perkiraan, sedikitnya 49 juta orang pemilih yang dihilangkan haknya melalui pemalsuan DPT, belum lagi memperhitungkan DPT fiktif, manipulasi penghitungan, dan kurangnya transparansi pelaksana pemilu (KPU).

Dengan begitu, rejim neoliberal ini sudah memulai langkahnya dengan sebuah cacat besar; memanipulasi dan melanggar hak politik jutaan rakyat. Dosa politik ini tidak ringan, dan seharusnya dicatat sebagai pelanggaran demokrasi dan hak asasi manusia terbesar dalam sejarah politik Indonesia. Ini adalah cara-cara politik orde baru yang didaur ulang dengan nuansa baru—demokrasi liberal.

Selanjutnya, pelanggaran politik dan demokrasi kedua rejim baru ini adalah pada saat pelantikan, 20 Oktober 2009. Pada saat itu, desakan rakyat Indonesia adalah menunda pelantikan Budiono sebagai wapres, karena dia diduga tersangkut skandal pengucuran dana talangan (bail-out) Bank Century. Akan tetapi, rejim neoliberal tidak mengindahkan sama sekali desakan rakyat tersebut, dan malah membalas suara rakyat itu dengan pengerahan 19.000 aparat gabungan TNI/Polri untuk mengawal prosesi tersebut.

Ini sungguh ironis: Sebuah negara yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi, pada kenyataannya, justru melantik seorang pejabat politik yang sedang tersangkut sebuah dugaan kejahatan korupsi.

Catatan Pertama; Kelanjutan Rejim dan Sistim Neoliberalisme

Naiknya SBY-Budiono adalah kemenangan mutlak kubu neoliberal—ekonom neoliberal, politisi liberal, seniman liberal, demokrat liberal, pengusaha neoliberal, dan partai-partai antek neoliberal. Mereka segera membentuk sebuah lapisan kekuasaan politik yang hanya menampung para teknokrat dan politisi oportunis yang haus kekuasaan.

Pada kabinet baru ini, sejumlah loyalis neoliberal masih terus dipertahankan dan malah diberikan porsi yang lebih besar, terutama untuk menempati departemen-departemen strategis dan berhubungan dengan masalah ekonomi, perdagangan, dan sumber daya alam.

Dengan begitu, tentu saja, susunan pemerintahan baru ini dapat dipastikan hanya berisikan loyalis neoliberal, dan hanya mengabdi kepada ibu-pertiwi mereka di AS sana—wall street dan korporasi raksasa dunia.

Dalam praktik kebijakan, pemerintahan baru akan mempergunakan jalan yang pernah ditempuh kaum kolonialisator di masa lalu, seperti pengolahan sumber daya diserahkan kepada pihak asing, penyediaan tenaga kerja murah, pembukaan pasar dalam negeri untuk produksi negeri maju, dan serbuan modal asing melalui investasi.

Pada tahun baru mendatang, sebagai kado dari tuan besar imperialis itu, kita rakyat Indonesia akan dihadiahi dua malapetaka besar; pertama, Free Trade Agremeent (FTA) ASEAN-China, dan kedua, kenaikan harga Tarif Dasar Listrik (TDL.

Perjanjian perdagangan bebas dengan China secara resmi akan dimulai 1 Januari mendatang. Dari perjanjian itu, Indonesia sendiri memasukkan sekitar 2.500 subsektor industri, kemudian sejumlah 2.528 pos tarif sektor industri manufaktur yang saat ini tarifnya 5 persen harus menjadi nol persen per 1 Januari 2010. Dalam hukum ekonomi, “yang kuat akan memangsa yang lemah”, ekonomi dan industri China yang begitu kuat tentu bukan saingan yang pantas dengan industri nasional kita. Apalagi, pada kenyataannya, perdagangan bebas selalu menonjolkan eksploitasi negara kuat terhadap negara lemah, mereka akan memanfaatkan kelemahan kita untuk keuntungan besar mereka.

Dengan begitu, dalam keyakinan kami, perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China ini hanya akan menjadi “persinggahan terakhir” industri Indonesia menuju kematian. Persoalannya bukan soal berdagang di antara dua pilihan; China atau AS. Namun, bagaimana kita berdagang untuk kemakmuran kedua belah pihak, bukan kemakmuran bagi mereka dan kemiskinan buat kita. Untuk itu, syarat-syarat kerjasama perdagangan harus menyertakan; kerjasama berdasarkan solidaritas, transfer teknologi tanpa syarat, pemberian bantuan ekonomi tanpa syarat, dan pola hubungan kerjasama politik –ekonomi yang setara.

kenaikan harga Tarif dasar listrik (TDL). Ini adalah kado mematikan bukan saja terhadap konsumen klas menengah dan bawah, tetapi juga pengusaha nasional yang sudah lama menderita akibat ekonomi biaya tinggi.

Catatan Kedua: Korupsi dan Kegagalan Membentuk Pemerintahan Bersih

Dalam periode pertama kepemimpinan politiknya, SBY mempergunakan isu pemerintahan bersih sebagai jualan politik paling laris, meraih dukungan luas dari publik, dan sanggup menjaga popularitasnya di tengah-tengah kegagalan ekonomi neoliberalisme.

Namun, dalam perkembangan kemudian, isu korupsi dan pemerintahan bersih akhirnya memojokkan pemerintahan neoliberal ini. Metode pemberantasan korupsi tebang pilih sudah berbalik arah, dan justru mulai menjegal leher koruptor yang bersarang di Istana, diantaranya, Aulia Pohan, dan beberapa petinggi partai Demokrat, PKS, dan lain-lain.

Budiono dan Sri Mulyani, dua tokoh kepercayaan rejim neoliberal ini, sedang tersandera oleh dugaan terlibat dalam skandal Bank Century. Kedua pejabat yang dulu berkoar-koar menyerang kapitalisme kroni, mendiskreditkan peran negara sebagai sumber korupsi, kini menjadi “pihak tertuduh” dalam sebuah kasus korupsi yang tidak sedikit jumlahnya, 6,7 Triliun.

Menghadapi persoalan ini, presiden SBY seperti mengalami kebakaran di tempat tidurnya, kemudian panik dan bereaksi diluar kendali politik. Usaha KPK untuk mengungkap kasus pengaadan TI di KPU dan kasus Bank Century adalah malapetaka bagi kekuasaannya. Setidaknya, hal ini merupakan pemicu kenapa presiden terkesan “membiarkan” KPK diobok-obok oleh Polri dan Kejaksaan.

“Tak ada asap kalau tidak ada api”, kasus penahanan secara tiba-tiba terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, pasti terkait sebuah persoalan kepentingan politik di belakang layar. Penahanan ini merupakan bentuk opensif balik dari pihak-pihak yang tidak menginginkan skandal Bank century terbongkar.

Dukungan massa rakyat terhadap KPK, baik di jalanan maupun di dunia maya, sanggup membalikkan keadaan dan memaksa presiden mengeluarkan rekomendari pemberhentian kasus Bibit dan Chandra. Bukan sekedar itu, bola liar kini mulai menggelinding ke pangkal persoalan; kasus Bank Century. Setelah melalui perjuangan panjang, pansus Bank Century akhirnya terbentuk dan proses politik terhadap kasus ini mulai berjalan.

Terkait hal-hal di atas, kami merasa perlu untuk memberikan beberapa catatan;

Pertama, Kasus skandal bank century, penahanan pimpinan dan pelemahan fungsi KPK, dan penolakan presiden SBY untuk menonaktifkan Budino dan Sri Mulyani adalah bukti yang terang benderang bahwa pemerintahan baru ini tidak bersih, tidak transparan, dan tidak memihak pada pemberantasan korupsi.

Kedua, pemerintahan SBY-Budiono adalah pemerintahan lembek, tidak berani, dan tunduk kepada para makelar kasus, mafia peradilan, dan koruptor yang merajalela. Sampai saat ini, presiden SBY belum melakukan apapun untuk menangkap sejumlah markus, mafia peradilan, dan penjahat hukum seperti Anggodo Widjoyo, Susno Duadji, dan sebagainya.

Ketiga, pemerintahan SBY-Budiono adalah rejim korup dan menerapkan kronisme. Presiden SBY tidak mau melepaskan sejumlah koleganya untuk diperiksa dalam proses hukum, khususnya Budiono dan Sri Mulyani. SBY juga tidak sanggup membuktikan bahwa partainya, partai demokrat, dan beberapa orang dekatnya tidak terlibat dalam menikmati aliran dana Bank Century.

Keempat, SBY juga tidak serius dalam menjalankan reformasi politik untuk menegakkan pemerintahan bersih dan berwibawa. Mentalitas korup dan tidak loyal terhadap pekerjaan masih merupakan wajah umum birokrasi kita.

Catatan Ketiga; Kegagalan Total Program 100 Hari

Sebagai konsekuensi langsung dari persoalan di atas, program 100 hari pemerintahan SBY-Budiono terancam mengalami kegagalan secara total. Kegagalan ini memang sudah bisa diprediksi sejak awal, khususnya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, isu kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century hanya melengkapi kegagalan pemerintahan ini di bidang politik.

Sejak awal, kekuasan baru sudah mendapatkan rapor merah di bidang ekonomi; de-industrialisasi, PHK massal, kemiskinan, dan jatuhnya standar hidup rakyat. Kegagalan ini berpangkal pada sebuah pilihan sistem yang salah—neoliberalisme, namun tetap dan terus dipertahankan.

Solusi Bersama Anak Bangsa; Bangun Persatuan Nasional

Kita tidak bisa bertahan dengan kondisi seperti ini. Kita sudah terlalu banyak bersabar menerima keadaan dan mempercayai elit-elit politik di pemerintahan saat ini. Kita harus mengatakan, “sudah cukup sampai di sini, kita mau Indonesia baru yang lebih baik”.

Kalau nanti, akhirnya, program 100 hari mengalami kegagalan total dan tidak ada prospek perbaikan ke masa depan, maka kami rakyat Indonesia menyatakan bahwa mandat presiden SBY sudah berakhir. Kesempatan dan tongkat estafek harus diberikan kepada orang baru, kekuatan politik baru, yaitu mereka atau kekuatan politik yang berani menjalankan garis politik kemandirian bangsa, membasmi koruptor hingga ke akar-akarnya, dan berpihak kepada rakyat.

Untuk itu, “karena tidak ada perubahan yang jatuh begitu saja dari langit”, maka kami dari Partai Rakyat Demokratik menyerukan kepada seluruh tokoh politik nasional, tokoh-tokoh muda, tokoh agama, akademisi, pengusaha nasional, organisasi-organisasi mahasiswa, serikat buruh, serikat petani, serikat kaum miskin perkotaan, kalangan profesional, ibu-ibu rumah tangga, dan siapapun rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan, mari kita deklarasikan sebuah “persatuan nasional”.

Mari tanggalkan perbedaan dan dikotomi yang tidak penting, dan mari bersatu pada tujuan-tujuan politik jangka panjang; Indonesia baru yang lebih baik. Mari jadikan tahun kemarin sebagai pelajaran dan sambut tahun baru dengan perjuangan hebat untuk masa depan yang lebih baik.



Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Catatan Akhir Tahun 2009 : Pemerintahan Baru Diambang Kegagalan Total; Program 100 Hari Disandera Para KoruptorBagikan"

Posting Komentar